Chapter 13

1.4K 317 89
                                    

Nggak apalah, update walau nggak sampai target🥲🥲 Please jangan jadi silent readers ya. Tolong hargai yang nulis dengan ngasih vote atau komennya. Nggak bayar juga 'kan? Beda cerita kalo udah diterbitkan.

***

Keesokan harinya Alena sudah diperbolehkan pulang karena kondisinya yang telah stabil dan baik-baik saja. Alena bahkan memaksa Arden untuk langsung pulang tanpa menunggu orang tuanya menjemput karena sudah tidak betah berada di rumah sakit. Dengan alasan anak mereka, akhirnya Arden pun menurut dan bersiap membawa wanita itu pulang ke rumah.

"Ngomong-ngomong, Len. Lo udah pernah periksa kandungan pakai USG belum?" tanya Arden saat mereka melangkah meninggalkan ruang rawat Alena. Tanpa sengaja matanya menangkap keberadaan papan nama dokter kandungan yang membuat Arden teringat kehamilan Alena.

"Belum sih. Emangnya kenapa?"

"Gimana kalo kita sekalian periksa? Gue pengen tau aja sih kondisi dia gimana," sahut Arden seraya melirik perut Alena.

"Ya udah," sahut Alena yang membuat Arden tersenyum kemudian mengacak rambut sepupunya itu. Arden pun membawa Alena mendaftarkan diri untuk memeriksakan kandungannya. Setelah mendapat nomor antrean, mereka pun menunggu giliran dipanggil.

Beberapa waktu kemudian, tibalah saatnya untuk mereka masuk. Arden setia menemani Alena yang akan diperiksa. Jantungnya tanpa sadar berdegup kencang hanya karena ingin memeriksakan kehamilan Alena. Ada debar menyenangkan dan tak sabar untuk bertemu si kecil.

"Jangan ngeliat," ujar Alena seraya memalingkan wajah Arden ketika suster menyingkap pakaian di bagian perutnya. Alena melakukan itu karena merasa malu dan juga jengah. Sebab, tak seharusnya memang mereka begini. Malam itu mereka sedang tak sadar saja sehingga bisa melakukannya.

"Iya, bawel," balas Arden yang membuat suster dan dokter senyam-senyum sendiri. Mereka pikir Alena dan Arden adalah pasangan suami istri yang masih malu-malu. Padahal nyatanya mereka hanyalah sepupu yang kebetulan akan memiliki anak bersama.

"Kondisi janinnya sehat, Pak, Bu. Kita bisa melihat titik ini yang merupakan janinnya," ujar dokter yang mulai menjelaskan. Arden dan juga Alena memperhatikan dengan saksama penjelasan dokter mengenai anak mereka.

"Usianya baru enam minggu. Masih terlalu kecil dan rentan. Maka dari itu, Ibunya harus banyak beristirahat, makan makanan yang sehat dan bergizi, dan yang terpenting jangan stres. Setelah ini akan saya tuliskan resep vitamin untuk penguat kandungannya."

"Baik, Dokter. Terima kasih," sahut Arden yang dibalas anggukkan kepala oleh dokter. "Anak kita sehat, Len," bisik Arden di telinga Alena yang diangguki sepupunya itu. Arden kian merasa ingin memiliki anaknya secara nyata, bukan hanya bisa melihat dan dekat dengannya tanpa bisa mengatakan kalau dirinya adalah ayahnya.

"Ingat janji lo ya, Ar," ucap Alena ketika bisa melihat keraguan di mata lelaki itu lagi. Alena tahu kalau sebenarnya Arden adalah laki-laki yang baik. Sepupunya itu pasti tidak tenang sebab memikirkan nasib anak mereka nanti. Tapi, kondisinya akan semakin rumit jika mereka mengaku yang sebenarnya.

Arden menghela napas beratnya kemudian mengangguk. Ia membantu Alena turun dari ranjang pemeriksaan ketika perut sepupunya itu sudah dibersihkan. Lalu, mereka pun duduk di kursi yang tersedia berhadapan dengan meja kerja dokter.

"Ini photo hasil USG-nya, dan ini resep yang harus ditebus ya."

"Sekali lagi terima kasih, Dokter."

"Sama-sama. Selamat atas kehamilannya ya, Bu, Pak."

Keduanya mengangguk sopan kemudian pamit keluar dari ruang dokter kandungan itu. Tak henti-hentinya Arden tersenyum ketika melihat hasil USG anak mereka.

Our MistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang