8: Bittersweet As F(irst)

1K 169 18
                                    

Maaf. Maaf kali ini aku harus membuka cerita dengan kesedihanku. Ataukah memang selama ini aku hanya bercerita tentang kesedihanku? Hahaha. Maaf.

Aku menggoyangkan kakiku. Oh, sekadar informasi saja aku sedang duduk di ayunan. Aku sedang menikmati semilir angin yang berhembus dan membelai suraiku. Menatap bulan yang sedang bertengger dengan percaya diri, memperindah hitam dengan sinarnya.

Aku menghela nafas. Aku pikir sehari ini bersama Jayden karena Edrea sedang ada urusan kepanitiaan, membuatku akan merasakan bahagia sampai aku menyambut hari yang baru. Hanya saja angan tetaplah angan tanpa pernah terwujud menjadi kenyataan.

Sayup-sayup lagu yang mengalun dari earphone membelai pelan kedua telingaku. Ting! Ting! Aku menatap handphone-ku yang menampilkan bubble chat dari grup yang berisikan aku, Edrea, Winter, dan Neena. Aku baru ingat kalau saja hari Senin besok sudah memasuki pekan Ujian Tengah Semester (UTS), sementara hari ini adalah hari Jum'at.

Kalau kalian bertanya sedang apa aku di ayunan ini, aku akan meminta maaf sebelum memulai menjawab. Mungkin kalian akan sering menemukan lebih banyak kejadian seperti ini setelah aku bahagia. Seolah-olah aku memang tidak ditakdirkan untuk bahagia karena sedih selalu datang setelahnya.

Kali ini tidak ada kekerasan seperti beberapa waktu silam. Kami berkumpul dan memakan seafood bersama. Keluargaku memang menyukai seafood yang diolah dengan beraneka cara. Kami makan dengan damai dan mendiskusikan rasa dari makanan ini. Aku pikir, semua berjalan dengan baik hari ini.

Hanya saja, aku terlalu congkak. Tidak lama topik obrolan kembali mengarah kepada pekerjaan dan akademik. Orangtuaku menasehati kakak lelakiku perihal mencari pekerjaan, sementara aku kembali diseret dan diharapkan dapat menorehkan prestasi yang membanggakan. Ah, mereka salah menggantungkan harapan kepada aku yang bodoh ini.

Ingin rasanya menampar semua orang yang bilang bahwa jadi anak terakhir itu enak. Faktanya, aku tidak pernah merasa begitu. Apalagi ketika aku selalu ditarik ke dalam kesalahan yang dibuat kakakku. Seolah prestasiku tidak pernah bisa dilihat dan dinilai berharga. Aku hanya akan dihargai ketika bisa menjadi yang pertama dan terbaik.

Belum lagi, fakta bahwa aku harus tetap menegakkan bahuku dan mendengarkan cerita dari kedua orangtuaku tentang permasalahan mereka. Papa yang kerap kali menyalahkan mama atas segala sesuatu yang ia nilai sebagai kegagalan dari anaknya, sementara mama yang menceritakan perbuatan papa yang menyakiti hatinya. Meskipun beberapa kali ia bilang, "Jangan membenci, bagaimanapun papa adalah papa kandung kamu juga."

Persetan dengan itu. Apakah ada satu orang yang peduli dengan perasaanku? Aku bisa mengeluh pada siapa? Tidak mungkin 'kan aku mengeluh pada mamaku yang juga memikul beban yang lebih berat? Apa lagi yang bisa kulakukan untuk menghilangkan pikiranku, selain dengan menghirup angin malam yang tidak baik untuk tubuh?

Sekali lagi, aku meminta maaf. Maaf kalian harus melihat sisiku yang seperti ini. Maaf seribu maaf karena aku bukanlah pemeran utama yang kalian harapkan.

***

Aku terkejut ketika Jayden menyodorkan teh hangat kepadaku setelah ia memberikan susu cokelat kepada Edrea. Aku mengerutkan kening. "Apa maksudnya?" tanyaku.

"Lo keliatan nggak sehat. Minum dulu biar fokus kerjain UTS-nya," jawab Jayden yang menatapku dengan ... khawatir? Haha, bercanda. Aku hanya percaya diri saja berharap ia khawatir padaku.

Edrea yang mendengar itu pun mengangguk. "Iya, mata lo sembab. Lo pake liptint, tapi kelihatan banget pucet kulit lo," sergah Edrea sebelum aku sempat menolak.

Aku menghela nafas kemudian menerima teh hangat tersebut dan berterima kasih kepada Jayden. Jayden pun dengan segera pergi ke lantai atas karena ruang ujian lelaki itu berada satu lantai di atas ruanganku dan Edrea.

Shadow of The MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang