10: Paint Me Blue

1K 180 28
                                    

⚠️ a glimpse of suicide scene ⚠️
Nggak parah kok, sangat sekilas dan tersirat mungkin? Cuma aku jaga-jaga aja👍🏻

***

Aku menghela nafas setelah melihat nilai-nilai UTS yang telah keluar di Siakad. Ah, Siakad itu semacam website kampus untuk melihat nilai-nilai selama satu semester, mengecek biaya semesteran, dan hal-hal lain. Intinya, untuk kebutuhan perkuliahan.

Nilaiku aman. Aku sangat bersyukur akan hal itu. Aku melirik ke arah Edrea. Ia tampak biasa saja. Aku simpulkan nilai-nilai dia juga masih bagus. Sementara Neena dan Winter tampak kesal dan kecewa setelah melihat hasil ujian mereka.

"Kenapa, Neen, Win?" tanyaku pada mereka.

"Duh, Perdata gue 79. Pidana gue juga 69 malah. Kacau," keluh Neena.

Winter meringis. "Nggak beda jauh deh gue sama Neena. Lo berapa, Ran?"

"Alhamdulillah sih Perdata 89 kalau Pidana 84," jawabku yang membuat mereka menatap iri. "Masih ada UAS, 'kan persentase UAS lebih gede daripada UTS."

"Lo berapa, Re?" tanya Neena.

Edrea menyengir. "Di atas 90 dua-duanya."

Neena dan Winter menganga. Ah, aku juga terkejut Edrea bisa mendapatkan nilai setinggi itu untuk mata kuliah Pidana. Padahal dosen kami sangat pelit nilai. Aku tersenyum tipis. Pantas saja Jayden tergila-gila dengan gadis cantik ini.

Edrea seperti kesempurnaan yang diinginkan oleh banyak orang, terkhusus aku. Sayangnya, aku tidak akan pernah bisa menjadi seperti Edrea.

***

Aku menyunggingkan senyum ketika memasuki kantin dan menemui Juan, Lia, dan Jayden. Neena, Winter, dan Edrea sedang mencari buku di perpustakaan yang membuatku bosan karena aku sudah mencari terlebih dulu kemarin.

Aku menatap jenaka ke arah Juan yang tengah memegangi rambut panjang Lia ketika gadis itu sedang makan bakso. Iya, hal itu ditujukan agar rambut Lia tidak terkena kuah bakso. Oh, so romantic. Hahaha.

Aku duduk di samping Jayden dan menatap Juan yang sedang mengomel. "Lo nggak bawa jedai atau ikat rambut gitu? Capek tangan gue megangin."

Lia berdecak. "Nggak ada yang nyuruh lo megangin juga, Monkey," kata Lia dengan sinis. "Gue nggak bawa ikat rambut. Lupa."
Lia menepis tangan Juan yang sedang menguncir rambutnya dengan tangan Juan sendiri.

"Udah diem aja," ujar Juan dengan tegas. Ia menepuk pelan tangan Lia. Juan menatapku dan bertanya, "Ada jedai atau ikat rambut nggak?"

Aku mengangguk dan menyerahkan ikat rambutku berwarna hitam. Aku memang selalu bawa lebih dari 2 ikat rambut untuk berjaga-jaga karena aku sangat sering menghilangkan ikat rambut.

Lia menyengir ketika aku menyerahkan ikat rambutku. "Thank you, Ran! Lo da best banget deh!" ucap Lia sambil mengacungkan ibu jarinya.

Sementara itu, Juan mengikatkan rambut Lia setelah itu membiarkan Lia makan bakso dengan tenang. Hanya saja Juan diam-diam mencuri pandang ke arah Lia. Lucu 'kan mereka? Aku saja bingung, masa iya Lia tidak sadar bahwa seseorang yang ia labeli sebagai sahabat itu menaruh perasaan lebih dari sekadar sahabat? Mustahil sekali untuk tidak peka jika melihat perilaku Juan yang sangat baik itu.

Aku terkejut ketika Jayden berbisik tepat di telingaku. "Bucin banget si Juan," canda Jayden. Aku sampai menahan nafasku ketika posisi Jayden berbisik terlalu dekat. Maksudku, deru nafas Jayden sangat jelas terasa olehku.

"Omong-omong," kata Juan ketika menghadapku. "Gimana Pidana? Aman?"

Aku yang masih kaku membuat Juan mengernyit. Jayden pun menyenggolku. Ia malah kembali berbisik, "Jangan cemburu sama Juan! Kata lo, lo nggak suka."

Shadow of The MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang