11: F.r.i.e.n.d.s

980 167 15
                                    

Jujur saja, saat-saat seperti ini membuatku bingung. Jayden benar-benar mendekat kepadaku selama Edrea tidak ada. Lelaki itu memang banyak teman sih, tapi entah kenapa ia tidak suka menongkrong dengan teman-teman lelaki di kampus, selain Juan dan Jonathan. Sementara itu, Juan sering kali menjalankan tugas sebagai teman yang sangat bucin kepada Lia dan Jonathan juga sedang bucin ke Kania. Kalian ingat 'kan perempuan yang ada di unit apartment Jonathan waktu itu?

Bahkan aku saat ini sedang menatap Jayden yang sedang makan bakso setelah lelaki itu latihan basket dengan anak-anak di UKM Basket. "Lo kenapa nggak gabung sama temen-temen lo sih? Nongkrong gitu," ucapku sembari menaruh mangkuk bakso di bawah sela kursi yang kududuki.

Jayden menggeleng. Setelah selesai mengunyah ia berkata, "Males. Mereka kalau ngomong kayak orang nggak berpendidikan."

Aku mengernyit. "Lah? Emang mereka omongin apa?" tanyaku dengan penasaran. Aku 'kan memang jarang bergaul dengan orang. Satu-satunya laki-laki yang dekat denganku adalah Jeno dan Jeno pun bukan anak tongkrongan. Jadi aku tidak tahu-menahu obrolan anak tongkrongan itu seperti apa.

"Biasa deh, cewek," jawab Jayden singkat. Aku semakin penasaran setelah mendengar jawaban Jayden.

"Terus kenapa ngomongin cewek lo bilang nggak berpendidikan?" tanyaku.

Jayden tersenyum masam. "Aduh, anak kecil. Mereka tuh ngomongin cewek seolah cewek itu cuma objek. Bangga karena berhasil taklukin cewek, terus pamer soal aktivitas ranjang, udah kayak lomba pernah tidurin banyak cewek. Gue nggak suka yang begitu. Makanya gue deket sama Juan dan Jo doang. Jo biarpun sering gonta-ganti cewek dan do the similar stuff, tapi dia nggak bangga soal itu. Dia masih respect perempuan dan nggak memandang perempuan hanya sekadar objek," jelas Jayden yang membuatku menganga. Astaga aku terkejut mendengar penuturan Jayden.

Jayden menatapku dengan alis sebelah menaik. Mungkin ia bingung melihat responsku yang sangat terkejut. "Gila, gue nggak sangka," kataku.

"Ya gitulah. Lo kalau dideketin cowok cerita ke gue, Ran. Gue walaupun deket cuma sama dua monyet, tapi gue kenal sama 90% cowok di kampus ini. Gue bisa bantu lo terhindar dari yang brengsek deh," kata Jayden dengan nada membanggakan diri.

Aku mendengus mendengar itu. Ya, aku sih udah jatuh ke orang yang salah. Orang yang tidak akan melirikku sama sekali padahal orang itu merupakan lelaki yang baik. Aku mengalihkan topik dengan bertanya, "Besok Edrea udah kuliah lagi ya?"

Jayden mengangguk. "Yoi. Hari ini final nih. Gue mau nonton dia, lo ikut yo?" ajak Jayden.

Aku terdiam. Sepertinya tidak salah juga untuk ikut melihat pertandingan debat hukum final Edrea hari ini. Toh letak kampus penyelenggara lomba tidak jauh dari kampusku.

***

Keputusanku antara benar dan salah. Aku senang melihat Edrea berhasil menyabet medali emas dan dapat mengharumkan nama kampus. Hanya saja, melihat Edrea yang langsung dipeluk Jayden sangat membuatku tercubit. Lagi-lagi, aku hanya bisa menatap Jayden dan Edrea yang bermesraan dengan datar. Berusaha menutupi perasaanku yang sebenarnya.

"You did great, Rea," ucap Jayden dengan nada sambat lembut sambil mengusap bahu Edrea dan mengecup kening Edrea dengan tuus. Aku melirik sepasang manusia itu dengan pandangan yang kuusahakan terlihat bahagia.

Winter dan Neena yang ternyata hadir pun menyambut Edrea dengan suka cita. Aku memamerkan senyum bangga ke arah Edrea yang bergantian memeluk gadis itu. "Lo terkeren, Re," pujiku kepada Edrea.

Tidak hanya kepada Edrea, aku juga menyapa Fira dan Harsa selaku delegasi debat hukum dari kampusku. Aku, Winter, dan Neena mengucapkan selaat kepada Fira dan Harsa yang telah berusaha keras selama beberapa minggu ini. Sementara Jayden dan Edrea masih melepas rindu mereka padahal hanya seminggu tidak bertemu.

Shadow of The MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang