Aku menatap kasihan ke arah lelaki yang sedang melampiaskan perasaannya dengan bermain bola basket itu. Sebenarnya kalau bicara kasihan, kupikir aku lebih kasihan lagi. Aku menemani lelaki yang sedang dilanda kegalauan itu, tetapi hatiku pun turut terluka.
Aku pikir melihat Jayden bahagia dengan Edrea sangat membuatku terluka. Ternyata melihat Jayden dilema karena Edrea lebih membuatku muak. Kenapa pula harus aku yang duduk di sini melihat dia bermain basket?
Ya, tadi sih Jayden sudah mengajakku untuk main. Hanya saja aku menolak. Aku tidak bisa main basket tahu. Lalu aku harus melawan Jayden yang pemain basket sejak lahir —mungkin? Yang benar saja. Itu sih aku akan menjadi pelampiasan kegalauan dia.
Aku menatap bosan ke arah sekeliling lapangan basket ini. Lapangan basket di komplek rumah Jayden cukup besar. Oh, aku bisa melihat banyak tukang jualan makanan di arah jam 3. Aku lantas berteriak kepada Jayden. "Gue jajan ya!"
Tidak peduli Jayden mau dengar atau tidak, yang penting perutku terisi. Wah, surga! Ada berbagai macam makanan di sini. Baik, aku akan mulai dari ... cireng isi ayam pedas! Aku dengan segera memesan 2 cireng isi ayam pedas yang tentu saja untukku semuanya.
Setelah membayar, aku berkeliling lagi untuk jajan makanan lain sembari menunggu cireng pesananku matang. Aku berjalan ke arah penjual cilung dan membeli tiga tusuk aci digulung itu dan mengeluarkan uang dua ribu rupiah. Cilung for life! Aku beranjak untuk membeli makaroni telur dan aci telur setelah menerima cilungku.
Sial, Jayden sudah menangkapku terlebih dahulu. Dia menjitakku dengan cukup keras. Cih, mentang-mentang aku bukan perempuan yang dia suka, berani sekali dia memakai tenaga kepadaku. "Lo 'kan nggak boleh banyak makan mecin, Ranaya," tegas Jayden. Cih, dia bertindak seperti ayahku saja. Sok peduli.
"Ih, sana deh. Lanjut aja galauin Edrea. Gue mau jajan."
Jayden tidak menjauh, malah semakin mendekat dan merangkulku. Lalu ia mengambil satu tusuk cilungku dan memakan cilung itu dengan wajah meledek. Aku bingung. AKU HARUS BAGAIMANA? Seharusnya aku marah 'kan? Namun jujur saja, jantungku ini berdebar keras sekali.
Tiga detik, tepat ketika mamang penjual cireng memanggilku, aku mendorong Jayden dengan keras hingga Jayden terhuyung ke belakang. Ia tidak menduga doronganku, tentu saja. Aku berjalan cepat ke arah penjual cireng.
"Makasih banyak, Mang!" kataku. Bukan hanya untuk cireng, tapi panggilan si mamang membuatku terselamatkan dari salah tingkah di depan Jayden yang tentu akan merusak bentengku.
Jayden masih tertawa menatapku. Kemudian ia bercanda, "Kuat juga lo."
Aku menggerutu. Seketika, handphone Jayden berdering. Aku melirik ke arah layar. Edrea. Tentu saja. Kalian berekspektasi apa? Apakah aku akan selalu bahagia? Kecil kemungkinan untuk itu terjadi.
"Hm. Iya, lagi basket. Di lapangan deket rumah itu, yang biasa. Hm. Sama Ranaya. Kenapa? Ya udah tunggu sebentar." Kira-kira begitulah ucapan Jayden yang aku dengar.
Aku menatap Jayden dengan sebelah alis terangkat. Ketika handphone ia kunci, Jayden tersenyum. "Edrea di rumah gue sama bunda. Masak-masak gitu deh. Ke rumah gue dulu yuk biar gue antar pulang."
Aku menggeleng. Iya, aku menolak ajakan Jayden. Menjadi orang ketika di antara orang yang kamu suka dengan teman dekatmu itu tidak enak. Meskipun ada Tante Jessica, tapi tetap saja terasa third-wheeling. Belum lagi, aku belum tahu jawaban atas pertanyaan Tante Jessica waktu itu. Entah, beliau masih ingat atau tidak.
Setelah kunyahanku tertelan, aku berkata, "Gue balik sendiri aja. Ada teknologi bernamakan ojek online. Santai. Lo pulang gih. Sekalian komunikasi sama Edrea yang baik, tanya pertanyaan yang ada di otak lo, jangan malah buat spekulasi sendiri."
![](https://img.wattpad.com/cover/277030221-288-k436227.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow of The Moon
FanfikceRanaya Gisella Mahreen harus menelan pil pahit bernamakan patah hati tiap kali Jayden Ivander Diratama menitipkan barang untuk diberikan kepada Edrea Gauri Yudistia -teman dekat Rana di kampus. Rasa yang Rana pendam itu semakin terasa sakit ketika E...