26: Healer

1K 149 5
                                    

Tepat pukul lima sore waktu aku pulang kerja. Oh, hanya magang kok. Kampusku mewajibkan mahasiswa semester enam untuk mengambil mata kuliah magang dan selama program itu, aku harus berkuliah secara hybrid. Sesekali aku ke kampus, namun lebih banyak online.

Hanya saja hari ini begitu sibuk. Aku harus berkuliah dari pagi hari pukul delapan, lalu pukul sebelas aku harus ke kantor di bilangan Sudirman, kemudian saat ini aku tengah terburu-buru mengejar kereta MRT agar aku bisa sampai di kampus sesegera mungkin karena aku telah terlambat. Hal itu dikarenakan aku ada rapat kepanitiaan di kampus yang tidak bisa aku lewatkan.

Untung saja aku melewatkan kereta ini. Meskipun penuh dan aku harus berdiri, tidak masalah. Aku membuka telepon genggamku untuk bertanya kepada tiga kepala sub divisi yang berada naungan divisiku. Di kepanitiaan kali ini aku dipercaya untuk memegang divisi komunikasi yang mana menaungi tiga divisi lain.

Aku menghela nafas ketika melihat mereka masing-masing mencatat hasil rapat hari ini untuk dilaporkan padaku. Setidaknya, rekanku sangat dapat diandalkan.

Kereta telah berhenti di stasiun yang kutuju. Aku langsung bergerak keluar sembari memesan ojek online. Beruntung, ketika aku keluar sudah ada driver yang menungguku. Tak butuh waktu lama, aku segera memakai helm dan menaiki motor tersebut.

Sekitar sepuluh menit, aku sudah sampai di depan gedung fakultas. Dengan segera aku turun dari motor dan berlari ke dalam. Sayang, aku malah terjatuh di aspal sampai-sampai driverku turun dan menghampiri. Aku tersenyum dan berkata, "Saya nggak apa-apa, Pak. Terima kasih ya."

Tidak sakit kok hanya jatuh biasa.

Setelah itu aku langsung berjalan cepat menuju ruangan karena aku baru dikabari kalau tiba-tiba saja dekan fakultasku ikut rapat hari ini untuk memantau perkembangan lomba yang akan diselenggarakan. Sementara, laporan divisiku belum kukirim kepada kepala sub divisi.

Ketika aku masuk semua orang terkejut, aku menyengir dan menunduk meminta maaf. Lalu aku duduk di sofa kosong di samping kepala sub divisi LO yang berada di bawah naungan divisiku. Aku berbisik, "Mana dekannya?"

Wanda menjawab, "Dia daring jadi ada di proyektor, tapi dia izin salat Magrib dulu."

Lalu Dara —kepala divisi acara tiba-tiba saja berteriak ke arahku. "Ya Allah, Ranaya! Kaki lo berdarah itu celana putih lo sampe merah begitu!"

Jayden yang semula sedang berdiskusi dengan kepala sub divisi publikasi dan dokumentasi, Gara, pun menoleh ke arahku. Aku benar-benar bingung karena aku tidak menyadari jatuh yang kualami tadi sangat kencang. Teringat dengan laptopku, aku langsung membuka totebagku dan memastikan laptopku dalam keadaan baik-baik saja. Syukurlah benar-benar tidak tergores sedikit pun.

Oh, kakiku mulai terasa perih sekarang. Aku baru saja mau bangkit, namun seorang lelaki sudah berjongkok di hadapanku. Oh tidak. Ini buruk. Galih —lelaki yang sedang gencar sekali mendekatiku sudah berdiri di depanku dengan seperangkat kota P3K.

Ruangan ini jadi hening. Beberapa melirik ke arah Jayden yang sudah tidak dapat berekspresi ramah. Rahang lelaki itu tampak mengeras, namun ia hanya diam dan menatap ke arahku dengan tajam. Lebih tepatnya, ia memandang Galih sih.

"Gal, biar gue sendiri aja," tolakku yang merasa tidak enak dengan Galih maupun Jayden.

Galih tersenyum manis. "Gue aja nggak apa-apa kok," ujar Galih.

Aku benar-benar bingung bagaimana cara menolak Galih ya? Aku menatap Jayden dengan tatapan memelas bahwa aku bingung harus menolak dengan cara apa. Kemudian Jayden bangkit dari duduk dan menghampiriku. Ia berkata kepada Galih dengan nada yang tegas. "Gue aja, Gal."

Shadow of The MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang