25: One Year, One Day

1.1K 167 11
                                    

Satu tahun berlalu dengan sangat cepat. Tidak banyak yang berubah dari cerita yang pernah kubilang kepada kalian. Aku dan keluargaku masih belum ada komunikasi yang berarti, selain dengan mamaku. Aku dan teman-temanku menikmati kehidupan sebagai mahasiswa tingkat ketiga dengan cukup ... menyenangkan sekaligus menegangkan.

Perkuliahan menyita waktuku dengan tugas-tugas, organisasi, penelitian, dan beberapa kegiatan sukarelawan yang kuikuti selama satu tahun. Semua berhasil membuatku semakin membaik. Pikiran negatifku berkurang pesat karena teralihkan kepada kegiatan yang produktif.

Sementara itu, hubunganku dan Jayden juga tetap menjaga pertemanan kami. Tidak ada yang berubah. Bahkan keadaan diriku yang masih enggan menjalin hubungan dengan lelaki manapun.

Lamunanku buyar oleh Jayden yang tiba-tiba menghela nafas kencang sambil duduk di sebelahku. Aku bertanya, "Kenapa?"

Jayden memutar kedua matanya. Lalu ia memberikan sebatang cokelat kepadaku yang membuatku mengernyit. Apa maksud lelaki itu ya? "Dikasih dari Galih," ucap Jayden. "Demi deh, lo sekarang banyak banget yang deketin, Ran. Udah setahun padahal dari insiden kantin."

Aku hanya tertawa kecil. Kalian masih ingat insiden aku melabrak orang yang membicarakan Neena dengan hal-hal yang kurang baik? Ya, kejadian itu membuat namaku jadi ramai diperbincangkan orang-orang. Akun instagramku sampai banyak diikuti oleh orang-orang. Bahkan banyak juga yang mengirim pesan melalui Whatsapp maupun Line. Aku sangat risi, tapi aku tidak enak juga untuk menolaknya.

Aku mengambil cokelat itu dan membukanya. Tentu saja rezeki tidak boleh ditolak. Apalagi aku sekarang anak kost yang harus mengirit uang jajan. Eh, tetapi aku juga tetap menawarkan sebagian kepada Jayden kok. "Mau?" tawarku yang langsung dijawab dengan anggukan oleh Jayden.

"Gue pengen americano deh. Ngantuk banget," ucap Jayden lalu menyender di pundakku.

Aku terkekeh. "Sabar. Lo makan gih. Gue masih habis ini masih ada peserta lagi buat diwawancara," kataku kepada Jayden.

Jayden menatapku dan merengutkan bibirnya. "Ya gue tunggu lo aja kalau gitu," ucap Jayden. "Si Edrea wawancaranya udah selesai, masa lo lama banget."

"Kak Doy teliti banget orangnya, gue juga kan gitu."

Jayden lagi-lagi menghela nafas. "Dia udah mau sidang masih aja sibuk ngurusin ginian," gerutu Jayden dengan pelan yang masih bisa kudengar.

Belum sempat aku membalas gerutuan Jayden, Kak Doy sudah masuk kembali ke dalam ruangan wawancara. Sebenarnya ini adalah ruang kelas biasa yang kami pinjam untuk mewawancarai peserta. Peserta-peserta terpilih itu nantinya akan menjadi panitia untuk perlombaan riset dan debat yang akan diselenggarakan oleh organisasi kami.

"Eh, kebetulan gue nyari lo Jay. Lo sekalian dokumentasi buat di ruangan gue dong, tolong. Si Hadi ada acara apa gitu ditelepon nyokapnya. Di ruangan si Edrea sama Kejora udah kelar 'kan?" pinta Kak Doy.

Jayden menatapku, lalu mengangguk. Ia segera mempersiapkan kamera yang sudah ia masukkan ke dalam tas khusus kamera itu. Aku suka lucu kalau ingat Jayden yang jadi sering menjadi sesi dokumentasi di berbagai acara kampus karena jepretan Jayden yang fenomenal ketika acara perlombaan tahun lalu. Padahal awal ia mengikuti acara itu hanya agar bisa mencari waktu untuk berbaikan denganku. Jayden pun tidak sesuka itu untuk menjadi sesi dokumentasi, tetapi ia memanfaatkan itu untuk masuk ke berbagai acara yang aku ikuti juga.

Jangan tanya kepadaku ya bagaimana perasaanku! Ah, kalian sih sudah pasti tahu. Seperti yang kubilang di awal, belum ada yang berubah, termasuk perasaanku untuk Jayden. Aku senang Jayden terbuka tentang perasaan lelaki itu padaku. Ia juga memperlakukanku dengan baik, lebih dari ia memperlakukanku sebagai teman. Aku hanya berharap akan bisa seperti ini terus sampai akhirnya aku bisa memberanikan diri menjalin hubungan dan berbahagia bersama lelaki itu.

Shadow of The MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang