⚠️ a glimpse of selfharm and suicide⚠️
Please don't be in love with someone else
Please don't have somebody waiting on you***
"Ranaya," panggil Juan yang membuatku menoleh. "Jangan mati ya."
Aku terkejut mendengar itu, tak lama aku tertawa kencang. Juan ini memang tidak terbaca sekali. Padahal tidak ada angin dan tidak ada hujan, tiba-tiba Juan berbicara begitu.
Oh iya, kami sedang memakan jagung bakar di wilayah Puncak, Bogor. Tentu saja kami tidak berdua saja, di dalam sana ada Jayden, Jonathan, Winter, Neena, dan Edrea.
Jayden dan Edrea yang menginisiasi pergi mendadak hari ini. Semalam mereka menghubungi kami melalui group chat dan mengajak kami menginap di salah satu villa milik keluarga Jayden. Kebetulan sekali kami semua free, jadilah langsung berangkat di hari ini.
Kembali lagi ke arah lelaki yang menatapku dengan serius, tanpa ikut tertawa denganku. Aku tersenyum, tahu ke mana pikiran lelaki itu bersarang sehingga ia mengucap begitu. "Tiba-tiba banget?" kataku pura-pura tidak mengerti.
Juan meraih telapak tangan kiriku. Ia melirik ke arah pergelangan tanganku yang tertutup oleh baju. Aku tersenyum. "Orang keiris pisau biasa, Ju," elakku.
"Ran ...," ucap Juan. "Gue bukan mau maksa lo untuk jujur, tapi gue paham banget itu luka apa," tambah Juan. Juan menghela nafas pelan yang membuatku menatap lelaki itu. "Adik sepupu kesayangan gue meninggal tahun lalu karena suicide dan banyak luka irisan di pergelangan tangannya," lirih Juan.
Aku terkejut. Pantas saja. Sebenarnya aku benci dikhawatirkan orang lain, aku benci dikasihani. Hanya saja, Juan berbeda. Aku mengerti mengapa Juan mengkhawatirkanku. Ia bukan hanya sekadar mengasihaniku, melainkan mungkin, merasa takut kehilangan lagi.
Juan masih bungkam yang membuatku berpikir bahwa ia tidak ingin melanjutkan cerita. Oleh karena itu aku berucap, "Santai aja, Ju. Iya, gue selfharm, tapi bukan dengan tujuan suicide kok." Juan menatapku bingung. "Gue nggak begitu paham cara mengeluarkan emosi gue kalau lagi sedih, Ju. Gimana ya bilangnya? Bokap gue selalu larang gue buat nangis. Katanya, gue cengeng kalau nangis. Katanya juga, anak dia nggak boleh lemah. Dari kecil, kalau gue nangis ya gue dimarahin. Jadi sampe sekarang, mau gimana pun sedihnya gue ... kerasa sesak banget. Mau nangis juga takut dan gue merasa lemah banget jadi manusia. Ini cuma cara gue mengekspresikan kesedihan, Ju."
Aku menghindar dari tatapan Juan. Entahlah aku malu setelah bercerita begini. "Bokap-bokap tuh kenapa ya suka kayak gitu?" gumam Juan.
"Bokap lo juga sama?"
Juan menggeleng. "Nggak sih. Dia suami yang takut istri," jawab Juan yang membuatku tertawa kecil. "Tapi, Ran, walaupun dia itu bokap lo, lo punya hak kok untuk nggak denger kata-kata dia. Gimana pun menangis itu cara manusia untuk mengekspresikan perasaan sedih yang kita lagi rasain. Nyokap gue bilang, semua orang boleh nangis kalau merasa sedih. Nggak ada pengaruh antara menangis dengan kuat atau lemahnya seseorang."
Aku tersenyum menatap Juan. "Ju, gue suka sama lo aja kali ya," celetukku dengan canda.
Juan malah menempeleng kepalaku dengan pelan. "Jangan, anjrit. Gue ini ada di hidup lo bukan untuk jadi orang yang lo suka, tapi untuk jadi teman yang buat lo bahagia, Ran," kata Juan dengan senyum bangga.
Aku tertawa. Juan memang sangat pintar untuk mengendalikan suasana. Dia memang seseorang yang dikirim Tuhan untuk membuat orang-orang di sekelilingnya bahagia.
***
Aku menatap kolam renang di hadapanku. Dengan semangkuk indomie rebus rasa soto mie dengan telur setengah matang dan potongan cabai setan, aku berpikir banyak hal.
![](https://img.wattpad.com/cover/277030221-288-k436227.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow of The Moon
Fiksi PenggemarRanaya Gisella Mahreen harus menelan pil pahit bernamakan patah hati tiap kali Jayden Ivander Diratama menitipkan barang untuk diberikan kepada Edrea Gauri Yudistia -teman dekat Rana di kampus. Rasa yang Rana pendam itu semakin terasa sakit ketika E...