Holla, aku balik lagi
Gimana kabar kalian?Aku pengen cerita ini cepet cepet tamat deh, setelah cerita ini tamat nanti bakal aku revisi, berapa part mungkin aku rubah buat kenyamanan membaca. Hehe
Makasih yang udah mau baca, vote dan komen juga💗 sayang banget sama kalian💕
Ceritanya gaje banget ya, tau kok alurnya juga masih berantakan kemana mana, haha.
Sorry☺ banyak typo bertebaran Silahkan komen kalau ada typo supaya bisa aku perbaik😆
Minta waktunya sedetik aja untuk Klik Bintang ⭐🌠
Enjoy guys💕
Selamat membaca semuanya😍❤
Semenjak kejadian Qia yang terkena kuah bakso panas. Febian kini lebih posessif pada Qia, namun Qia tidak merasa terkekang. Justru merasa senang. Senang rasanya ada yang khawatir tentangnya.
"Lov, kamu gak boleh duduk di pojok, kamu harus di tengah, paham?" Febian duduk sambil menceramahi Qia.
Qia hanya menganggukan kepala, menuruti nasehat Febian. "Jangan deket- deket orang yang lagi bawa makanan, okey?"
"Iya, Bian" ujar Qia.
"Kalau mau makan, suruh orang lain pesen, jangan kamu turun tangan sendiri,"
"Iya, Bian,"
"Bagus," ujar Febian sambil mengelus- elus rambut Qia. Sepasang mata itu memancarkan kasih sayang. Tidak ayal membuat hati Qia menghangat. Rasanya senang diperhatikan. Dia bahagia bisa bertemu dengan Febian, dia berharap akan seperti ini terus dan tidak akan berubah.
"Bian, kamu gak akan berubah kan?" tanya Qia pelan menundukan kepala.
"Hey, kamu kenapa?"
"Tatap mata aku Lov," pinta Febian ketika Qia mengindari kontak mata dengannya.
Febian menahan dagu Qia supaya menatap matanya. "Apa yang kamu liat di mata aku?" tanyanya lembut.
Qia diam, memandang mata Febian lebih dalam. Qia rasa dirinya sudah terlalu terjerat dalam pesona Febian. Mata Febian seakan menghipnotisnya untuk terus menatap matanya.
"Aku liat diri aku di mata kamu," jawab Qia setelah beberapa saat terdiam.
"Itu yang aku maksud, hanya ada kamu di hidup aku. Kamu hanya akan menjadi pertama dan terakhir untukku gak ada yang lain. Hanya kamu yang akan menjadi ibu dari anak- anak aku. Jika takdir gak bisa mempersatukan kita maka aku akan terus berjuang melawan takdir meskipun nyawa taruhannya," ucap Febian menatap Qia serius. Tatapan mata yang belum pernah Qia lihat sebelumnya. Qia dapat merasa Febian serius dengan ucapannya, ia sekarang takut sesuatu akan terjadi pada mereka.
"Kamu gak boleh ngomong gitu Bian, kita gak bisa lawan takdir. Kalau pun kita gak bisa bersama paling enggak ada kenang kita berdua yang akan terukir di hati kamu dan aku. Aku gak mau kamu maksa takdir kalau itu hanya akan nyakitin kita berdua, aku lebih milih pergi menjauh dari kamu daripada lihat kamu gak bernyawa."
Qia tidak ingin Febian memaksakan takdir yang nyatanya memang tidak bisa diubah. Jika dia diberi pilihan lebih memilih Febian mati atau dia yang harus menghilang. Dia lebih memilih menghilang, menghilang menjauh dari Febian. Menyisahkan kenangan tentang dia dihati Febian. Meskipun dia tidak bisa memiliki Febian.
"Aku gak peduli Lov, jika aku harus milih mati atau pergi dari hidup kamu, aku lebih baik milih mati. Rasanya sulit buat hidup tanpa kamu, karena fokus hidupku cuma kamu. Hanya kamu!" ujar Febian menegaskan.
Febian tidak bisa pergi dari hidup Qia, dia sudah terlalu bergantung pada Qia. Dia seperti bisa mengakhiri hidupnya jika Qia menghilang dari hidupnya, cukup sekali orang tuanya pergi. Dia tidak ingin lagi kehilangan, sudah cukup. Dia tidak tahan jika Qia poros hidupnya juga menghilang lebih baik dia mati daripada Qia hilang.
"Kok kamu ngomong gitu sih Bi, aku gak mau ya kamu ngomong gitu," protes Qia.
"Kamu tau sendiri kalau orang tua aku udah meninggal di depan mata kepala aku sendiri. Aku takut kehilangan lagi, cukup tuhan ambil orang tua aku. Jangan kamu, aku gak tahan kalau kamu pergi," lirih Febian matanya berkaca-kaca.
"Orang tua kandung aku mati gara- gara keegoisan aku sendiri. Gara- gara aku yang pengen ngasih kejutan ke mereka, tapi justru aku yang dikasih kejutan. Kejutan yang bikin aku rasanya mau mati, rasanya sakit. Aku ngerasa aku udah jadi pembunuh, gara- gara aku orang tua aku mati," ujar Febian pelan, air matanya menetes. Tangannya mengepal.
Qia berjalan mendekati Febian, berdiri di depan Febian kemudian memeluk Febian. Febian memeluk perut Qia erat, wajahnya dia sembunyikan di perut Qia.
"Harusnya dulu aku gak nakal, harusnya dulu aku nurut perintah Mama Papa, harusnya aku gak bikin Mama Papa marah, harusnya aku gak maksa Mama Papa, harusnya- ." Perkataan Febian dipotong oleh Qia, Qia tidak tega melihat Febian menyalahkan dirinya sendiri.
"Hey! Gak ada kata harusnya, itu semua udah takdir, mau gimana pun kamu kejadian itu bakal terjadi. Jadi kamu berhenti nyalahin diri kamu sendiri, sekarang kamu fokus sama masa depan kamu, kehilangan orang tua kamu jadiin pelajaran supaya gak enggak nyia-nyiain orang yang tulus sama kamu," ujar Qia lembut menasehati, tangannya juga tidak tinggal diam, kadang mengelus punggung Febian kadang juga mengelus rambut Febian. Qia berharap hal itu dapat memberikan rasa tenang bagi Febian.
Keduanya diam, menikmati momen ini. Keduanya berharap semoga tuhan tidak jahat pada mereka, jika keduanya harus berpisah. Maka perpisahan baik- baik caranya supaya tidak meninggalkan rasa sakit diantara keduanya. Walaupun sakit tapi tidak akan separah jika harus salah satu mati.
Sudah lebih dari 20 menit, namun Febian masih saja tidak ingin melepaskan pelukan. Karena rasa penasaran, Qia pun memunduk dan mendapati Febian yang sudah menutup mata, tertidur.
"Capek ya?" tanya Qia pada Febian yang tidur.
Qia menatap Febian iba, dia kira Febian orang yang kuat. Tapi justru Febian orang yang rapuh, jika terkena masalah lagi entah bagaimana nasib Febian. Dia rasa Febian mungkin bisa memilih bunuh diri apalagi jika ditambah kepergiaannya. Memikirkan hal itu saja membuat hatinya nyeri, sakit. Dia harap dia bisa terus bersama Febian. Semoga saja!
Qia melepaskan pelukannya lalu membaringkan Febian di sofa yang diduduki Febian, Qia takut Febian tidur tidak nyaman dengan posisi seperti itu. Dia membenarkan posisi kaki Febian. Setelah dirasa cukup membuat Febian nyaman, Qia duduk di karpet memandang wajah rupawan kekasihnya itu.
"Kamu harus kuat ya Bi, apa pun yang akan terjadi kedepannya. Aku harap kamu bisa bertahan," ujar Qia sambil mengenggam tangan Febian, menatap lekat wajah Febian.
Tangan satunya menyentuh pipi Febian, mengelus pelan- pelan. Febian mengeliat nyaman, wajahnya semakin mendusel- dusel di tangan Qia. Qia terkekeh, lucu sekali Febian ketika tidur.
TBC
SEE YOU NEXT CHAPTER🐺
7 September 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
I'am The Antagonist? Really?
Teen Fiction[Cerita buatan sendiri] [Bukan novel terjemahan] ▪Kalau vote silahkan vote semua jangan cuma berapa chapter saja😉😝🐺 Erika, seorang gadis penyuka novel. Suka membaca novel sampai lupa waktu. Tiba- tiba mati tengelam namun ketika dia sadar ia bera...