Bab 6

4.3K 232 11
                                    

"Sayang.."

Seorang pria paruh baya tersenyum lembut menatap sang istri, Kartika. Wanita cantik yang Beni nikahi nyaris tiga puluh tahun yang lalu.

"Belanja?" Kartika menganggukkan kepalanya dengan penuh semangat. "Iya habisin uang bulanan dari Dimas." Jawab Kartika penuh rasa bangga.

Beni menatap istrinya sekilas lalu melirik puluhan paper bag yang baru saja dibawa oleh supir pribadi istrinya sebelum memfokuskan tatapannya pada sang istri yang sedang bergelendot manja di dadanya.

"Habisin berapa untuk belanja kali ini?" Tanya Beni masih dengan suara tenang khas dirinya.

Kartika tersenyum malu-malu wajahnya semakin ia susupkan ke dada sang suami. "Nggak sampai 200 juta kok Mas." Jawabnya santai seolah 200 juta yang sudah dia habiskan bukan uang melainkan daun.

"Semua itu dari Dimas?" Tanya Beni lagi.

Dengan santainya Kartika menganggukkan kepalanya. "Siapa lagi yang mau manjain aku begitu selain putraku Dimas? Kamu? Boro-boro uang belanja 200 juta 10 juta aja habis kamu ngamuk." Kartika mencibir suaminya secara terang-terangan.

Beni menegakkan tubuhnya sehingga mau tidak mau Kartika melepaskan pelukannya. "Kamu tahukan aku tidak sekaya putramu itu." Sindiran Beni membuat wajah Kartika berubah merah.

Suaminya pasti ingin memulai pertengkaran dengannya lagi.

"Jangan coba-coba kamu beranjak dari situ Kartika!" Peringat Beni saat melihat gelagat istrinya yang ingin kabur darinya.

"Apa lagi sih Mas heum? Mau sampai kapan kamu meributkan hal tidak penting seperti ini sih?!" Kartika yang kelelahan belanja begitu cepat kesal pada suaminya.

"Sampai kamu dan putramu sadar kalau uang yang kalian habiskan itu bukan hak kalian!" Suara Beni benar-benar tegas ketika memperingati istrinya.

"Itu hak kami! Kami anak dan istrimu bagaimana mungkin uang yang dihasilkan dari perusahaan kamu--"

"Kamu jelas tahu milik siapa perusahaan yang kamu dan anakmu bangga-banggakan itu!" Potong Beni tajam seketika membuat Kartika bungkam.

Brak!

Kartika tersentak kaget saat Beni melemparkan koran ditangannya dengan begitu kuat. Terdengar helaan nafas Beni yang begitu panjang membuat Kartika semakin tak berkutik.

"Tidak bisa dibiarkan lagi semakin lama aku merasa kamu dan anakmu itu semakin tidak tahu diri saja." Kartika tidak berani membuka suaranya ketika Beni sudah mulai menyumpah serapahi dirinya dan Dimas.

"Dimas juga anakmu bukan anakku saja!" Protesnya saat Beni kembali menyebut
Dimas sebagai anaknya.

Mata Beni yang berubah nyalang seketika membuat Kartika menundukkan kepalanya. "Anakku jika dia menuruti apa perintahku bukan sebaliknya!" Raungan Beni membuat Kartika memejamkan matanya. "Anak itu lebih memilih menuruti permintaan sesatmu daripada menjalankan amanah dariku! Benar-benar tidak berguna!" Maki Beni yang sudah sangat kesal pada tingkah istri dan anaknya.

"Jika seperti terus sebaiknya kita segera angkat kaki dari rumah ini!"

Kepala Kartika seketika mendongak menatap suaminya dengan tatapan tak percaya. "Apa Mas? Kamu bilang apa? Pindah? Kita mau pindah kemana hah?! Aku nggak mau ini rumahku aku tidak akan kemana-mana!" Kata Kartika penuh percaya diri.

Beni menatap istrinya dengan pandangan penuh cela. "Ibu dan anak sama saja! Sama-sama tidak tahu diri!" Maki Beni bertepatan dengan pintu rumah terbuka.

"Selamat siang Om Tante. Maaf baru menjenguk kalian sekarang." Senyuman Beni seketika mengembang lebar saat melihat seorang pria tampan yang berjalan gagah kearahnya.

"Ali jagoan Om Beni!" Seru Beni terlihat sekali wajahnya sangat bahagia matanya sampai berbinar-binar menatap Ali berbanding terbalik dengan Kartika istrinya yang menatap Ali dengan pandangan penuh ejekan.

"Anak pembawa sial kembali!" Ucapnya begitu berani yang seketika mendapat tamparan dari Beni.

Plak!

"Lancang kamu Kartika! Kamu tidak sadar siapa yang baru saja kau hina haa?!!"

***

Dimas tiba di rumahnya ketika sore menjelang. Ia terlihat lelah namun sinar matanya terlihat begitu berbinar.

Dimas merasa puas karena akhirnya ia menemukan partner yang berhasil memuaskan hasrat liarnya. Sandra.

Ah mengingat wanita itu membuat sesuatu dibalik celananya kembali meronta, andai saja ia memiliki kemampuan menghilang dalam sekelip mata mungkin sekarang ini ia sudah berada di dalam apartemen milik Sandra lagi.

Dia benar-benar kecanduan tubuh wanita itu berbeda dengan Prilly--tunggu Dimas baru mengingatnya. Buru-buru pria itu merogoh saku celananya dan menemukan puluhan panggilan tak terjawab yang berasal dari kekasihnya.

Sial! Dimas benar-benar dibuat mabuk kepayang oleh Sandra sehingga melupakan kekasihnya.

Dimas baru akan menekan panggilan untuk menghubungi Prilly tepat ketika pintu rumahnya di buka.

"Loh Mas Ali?" Dimas tidak tahu jika sepupunya itu sudah kembali. "Mas sudah pulang?" Tanyanya sedikit tak senang pasalnya jika Ali sudah kembali otomatis kendali perusahaan kembali diambil alih oleh laki-laki ini.

Ali menatap Dimas lamat-lamat ia melihat kekecewaan di mata putra Om-nya ini sepertinya Dimas juga tak suka ia kembali sama seperti Ibunya namun sayang sekali semakin Ibu dan anak ini tak suka maka akan semakin sering Ali menampakkan wujudnya di depan mereka.

Ali menyeringai kecil.

"Lo dari mana?" Tanya Ali tanpa basa basi. "Bisa ya lo tinggalin perusahaan kayak gini dimana tanggung jawab lo?" Sindirnya tanpa ampun. Ali tak pandang bulu meskipun yang sedang ditegur adalah putra dari laki-laki yang membantunya mengurus perusahaan tapi ia tak perduli.

Dimas gelagapan. "Gue ada meeting penting diluar Mas." Kilah Dimas cepat, ia tak mau Ali menggeser posisinya kembali menjadi karyawan biasa ia sudah betah dengan posisi Manager yang ia duduki selama setahun belakangan ini.

Ali berjalan mendekati Dimas lalu sedikit membungkukkan badannya, tinggi Dimas yang tak sepadan dengannya membuat Ali terpaksa membungkuk tepatnya mengendus aroma yang menguar dari tubuh sepupunya.

"Lo bau sperma apa meeting yang lo maksud dilaksanakan di ranjang dengan berbagi saling sperma begitu?" Ali kembali menyeringai dingin saat melihat wajah pucat pasi Dimas.

Pria itu tak bisa berkelit karena apa yang Ali katakan sepenuhnya benar. Dia memang melakukan meeting dengan salah satu karyawan kantornya di atas ranjang. Sialan laki-laki ini!

Dimas menatap benci punggung Ali yang sudah menjauh meninggalkan dirinya yang mematung didepan pintu rumahnya rumah Ali tepatnya. Dia dan keluarganya hanya menumpang disini.

Sialan! Kenapa laki-laki sombong itu memiliki kuasa lebih bahkan melebihi Ayahnya lalu bagaimana caranya Dimas melawan pria sombong itu?

Brengsek!

*****

Sejarah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang