Bab 32

2.1K 271 19
                                    


Ali mengemudikan mobilnya menuju butik Prilly yang tak jauh dari kantornya. Sepanjang perjalanan Ali kembali mengurut pertemuan mereka hingga akhirnya mereka saling menjaga jarak selama satu bulan ini.

Ali tidak tahu bagaimana caranya ia bertahan sampai sejauh ini padahal nyaris setiap malam ia memimpikan wanita bermata indah itu. Ali sekarat karena rindunya tapi mengingat bagaimana Prilly menangis terakhir kali mereka bertemu membuat Ali urung setiap kali ia ingin menemui wanita itu.

"Sayang Mas sayang--"

Prilly menggelengkan kepalanya. "Kita butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Mas masih belum lepas dari masa lalu dan aku tidak ingin berhubungan dengan pria yang masih terikat masa lalu." Ali bungkam. Ia tak membantah mengingat hitungan hari mereka mengenal jelas saja Prilly tidak akan dengan mudah mempercayai dirinya.

"Kamu mau Mas pergi?" Kali ini Prilly yang bungkam. Tanpa menjawab ia segera turun dari mobil Ali meninggalkan Ali dalam kebungkaman yang begitu menyakitkan.

Dan hari ini Ali baru menyadari jika dirinya telah salah mengambil tindakan. Seharusnya ia menunjukkan pada Prilly bahwa dirinya bersungguh-sungguh dalam menawarkan hubungan, Ali sudah benar-benar melepaskan masa lalunya.

Ali tidak lagi mencintai Aurel. Ali berani jamin dan ia tidak ingin memikirkan bagaimana jika Aurel kembali karena Ali berharap pada saat itu terjadi ia dan Prilly sudah terikat dengan ikatan suci bernama pernikahan.

Ali memarkirkan mobilnya didepan gedung miliknya yang sudah ia alihkan kepada Prilly. Benar, sertifikat  kepemilikan gedung ini sudah ia alihkan atas nama Prilly dan semua itu tanpa sepengetahuan wanitanya itu.

"Selamat datang Pak. Ada yang bisa saya bantu?"

"Ibu Prilly ada?" Tanya Ali tanpa basa-basi.

"Oh Mbak Prilly nya baru saja keluar Pak." Maya sedikit kikuk ketika mata Ali menyorot dirinya tajam.

"Kemana?"

"Kurang tahu Pak. Oh ya Bapak siapa ya?" Tanya Maya memberanikan pasalnya ia harus tahu siapa saja yang mencari Ibu bosnya itu memudahkan ia untuk melapor nanti.

Ali terlihat frustasi, disaat ia sudah menekatkan diri untuk menemui Prilly tapi semesta seolah tidak mengizinkan hal itu terjadi.

Drtt.. Drtt..

"Sebentar Pak." Maya meraih ponselnya yang bergetar. "Wah kebetulan Mbak Prilly nelpon." Ujar Maya entah kenapa ia merasa perlu memberitahu pria ini jika yang menghubungi dirinya adalah wanita yang pria itu cari.

Maya belum pernah melihat ada pelanggan yang sefrustasi ini ketika tidak bisa bertemu dengan Bosnya. Sepertinya pria ini memiliki hubungan pribadi dengan Ibu Bosnya lihat saja wajah frustrasi mereka nyaris sama.

Prilly juga tak kalah frustasi tadi ketika meninggalkan butik. Jangan-jangan pria ini calonnya Mbak Prilly lagi?

"Angkat dan tanya dimana Prilly sekarang!" Perintah Ali, wajahnya sedikit mengendur tak setegang tadi.

Ia tidak bisa menghubungi Prilly karena wanita itu sudah menutup semua akses untuk dirinya intinya nomor Ali diblokir Prilly.

"Iya Mbak. Baik nanti jika Mbak Andara datang saya sampaikan. Oh ya Mbak sekarang lagi dimana?" Maya melirik kearah pria yang sejak tadi terus memangku tatapan kearahnya.

Kok salting ya?

"Kenapa kamu tanya saya dimana?"

"Enggak Mbak biar saya mudah aja nanti kasih tahu pelanggan kalau ada yang tiba-tiba nanya Mbak." Kilah Maya cukup pintar.

Terdengar dengusan diseberang sana berikutnya Prilly menyebutkan salah satu rumah sakit yang ia kunjungi.

"Mbak Prilly kerumah sakit? Ngapain? Mbak benaran sakit?!" Tak hanya Maya yang terkejut tapi Ali juga ikut terkejut kini wajah pria itu berubah khawatir saat mendengar kabar jika Prilly sedang berada di salah satu rumah sakit.

"Sudah kamu jaga butik yang bener saya sudah dipanggil."

Tut.

"Yah dimatiin." Maya meletakkan ponselnya lalu menatap Ali. "Mbak Prilly lagi dirumah sakit Pelita Pak." Maya memberitahu rumah sakit yang Prilly kunjungi.

Tanpa mengatakan apapun Ali segera berbalik meninggalkan Maya yang mengerutkan keningnya. "Kayaknya benar itu calonnya Mbak Prilly. Pantes aja Mbak Prilly nolak pria-pria yang mencoba mendekatinya selama ini lah wong calonnya tampan begitu. Jadi iri." Celetuknya cekikikan.

***

"Saya Prilly Sus." Prilly menghampiri suster yang memanggil namanya tadi.

"Oh ya Ibu Prilly. Mohon maaf Bu sepertinya jadwal Dokter Karin hari ini penuh jadi Ibu silahkan kembali besok ya?"

Prilly menghela nafasnya, sudah nyaris setengah jam ia menunggu namun sayang sekali ia tidak mendapatkan kesempatan untuk memeriksakan dirinya.

"Ya sudah Sus. Tolong tulis nama saya ya besok saya akan kemari lagi." Suster berwajah manis itu segera menganggukkan kepalanya.

Setelah membuat janji untuk esok hari Prilly berjalan menuju loby sampai tiba-tiba ia merasa keram pada bagian bawah perutnya. Prilly segera mendudukkan dirinya pada salah satu kursi yang terdapat di lorong yang tak berada tak jauh dari loby.

Entah kenapa tiba-tiba Prilly merasakan jika dirinya benar-benar sedang mengandung saat ini. Hatinya semakin meyakinkan bahwa memang ada benih Ali yang sedang berkembang di rahimnya.

Prilly memejamkan matanya, ia sedang merasa perasaannya saat ini tapi entah kenapa antara perasaan kalut dan juga takut Prilly merasa perasaan haru justru lebih mendominasi dirinya saat ini.

Perlahan Prilly mengusap perutnya yang perlahan mulai membaik. "Jika kamu di sana tolong tumbuh dengan baik ya Sayang. Bunda akan melakukan apapun untuk memperjuangkan kamu. Kamu berhak untuk hidup dan Bunda akan melakukan yang terbaik sampai kamu lahir dan melihat dunia." Prilly begitu fokus berbicara dengan perut datarnya tanpa ia sadari jika ada sosok laki-laki yang berdiri tak jauh dari dirinya.

Dan laki-laki itu adalah Ali.

Pria itu seketika terpaku saat mendengar rentetan kata yang keluar dari mulut wanita yang satu bulan ini nyaris setiap malam hadir didalam mimpinya.

Prilly begitu fokus mengusap perutnya, wanita itu seperti berada didunianya sendiri sampai Ali melangkahkan kakinya mendekati tempat duduknya Prilly masih belum menyadarinya.

"Bunda sayang sekali sama kamu Nak. Bunda harap kamu tumbuh dengan sehat dan mau bertahan bersama Bunda." Prilly berbicara sambil terus mengusap perutnya. Ia merasa nyaman mungkin ini yang dinamakan insting seorang Ibu.

"Bunda benar-benar berharap kamu tumbuh dan lahir dengan selamat Sayang."

"Dan Papa juga mengharapkan hal yang sama seperti Bundamu."

Deg.

***End***





























































Nggak jadi deng! Hahaha
Panik nggak? Panik nggak? Hahahahaha

Jangan lupa PO cerita ini yaa dijamin seruuu habissss...
081321817808

Sejarah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang