part 32

0 0 0
                                    

📚Selamat membaca📖

"Den Alvaro kenapa? Wajahnya lebam-lebam gitu, berantem lagi ya?" Alvaro hanya tersenyum tipis bahkan sangat tipis.

"Yaudah bibik mau ambil p3k dulu ya?" tetapi Alvaro lebih dulu menahan tangan bik Minah.

"Gak usah bik, mama pulang kan? Aku Cuma butuh mama" bik Minah mengangguk. Alvaro langsung pergi menuju kekamar Lastri. Wajahnya datar tanpa eksprsi sedari tadi menahan emosi.

"Alvaro? Wajah kamu kenapa sayang?" Lastri terkejut saat membuka pintu dia menemukan wajah Alvaro yang babak belur. Lastri membelai wajah anaknya itu tapi Alvaro malah menepis nya.

"Mama tumben pulang? Sudah Bosan sama om Heri? Mau ganti siapa lagi?"

plaaak.

Refleks Lastri menampar Alvaro seketika tangan Lastri gemetar karena termasuk pertama kalinya Lastri menampar anak satu-satunya itu. Alvaro tersenyum sinis.

"Sampai kapan mama terus-terusan seperti ini, aku masih ingat dengan ucapan mama yang selalu bilang untuk tidak mengurusi dunia mama tapi mama harus ingat, aku anak mama dan semua orang menghujat aku karena kelakuan mama" Lastri hanya terdiam mendengar semua ocehan dari Alvaro.

Bik Minah sedari tadi masih mematung diruang tamu dan pembicaraan mereka jelas terdengar, namun wajah bik Minah menciut ketika mendapat tatapan menyeramkan dari majikannya.

"aku rasa cukup sampai saat ini mama berulah, aku sama Randy sudah punya masalah karena Nadin dan sekarang ditambah masalah mama dengan om Heri aku dari dulu selalu menjaga persaudaran tapi karena mama aku dan Randy seakan musuh bukan lagi layaknya sepupu dan satu hal lagi, aku tidak sekuat yang mama kira" selesai melampiaskan semua amarahnya pada Lastri Alvaro langsung berlalu dari hadapan Lastri. Tapi Alvaro kembali berbalik dan menatap Lastri datar.

"Kalau mama masih menganggap aku anak dan ingin nyawa aku selamat, JAUHI OM HERI" dengan sengaja Alvaro menekan kata terkhirnya.
*@*

Mely sedari tadi mengeluh bosan tapi kedua sahabatnya malah sibuk dengan pikirannya masing-masing, seakan-akan Mely sedang bersama patung. Bahkan bukan hanya sedang dikantin seperti saat ini Inad dan Vera dari tadi dikelas juga seperti tidak menghiraukan penjelasan dari guru.

"Mely lho mau bikin gue jantungan?" bentak Indah sambil melotot, Vera hanya menatap datar pada Mely. tapi mood Vera sekarang tidak stabil lebih tepatnya mager untuk bicara.

"Gak usah ngegas juga kalik, habis kalian tuh dari tadi melamun gak jelas gue rasanya sedang bersama dengan patung" Indah lagi-lagi diam. Tidak semuanya salah Mely, Indah juga salah karena melamun tanpa jelas perasaannya kali ini benar-benar dibuat tidak menentu dan itu karena seorang Devan.

Lain lagi dengan Vera yang khawatir dengan keadaan Alvaro yang tanpa kabar ditambah dengan tidak masuknya Alvaro kesekolah.

"Dari pada saling diam mending mesen makanan, kalian mau mesen apa?"

"Air putih" Mely cengo' karena jawaban Indah dan Vera bersamaan ditambah pesennya yang unik. Air putih.

"Kalian kenapa sih? Kalau punya masalah dibagi dong!" Mely menatap Indah dan Vera heran. Vera dan Indah malah saling tatap heran,lebih tepatnya heran dengan sendirinya.

"Gue rasanya lagi gak enak badan, jadi gue pesen air putih ajha Mel"

"Gue lagi mager, gak mood buat makan jadi pesen air putih ajha deh" tidak ada lagi bantahan Mely paham mungkin kedua sahabatnya butuh waktu.

Seperginya Mely, Vera tidak sengaja melihat Devan dan Aldo yang ingin masuk kedalam kantin langsung pamit sama Indah.

"Dah gue ke toilet dulu" tanpa menunggu jawaban dari Indah, Vera langsung pergi gitu ajha. Sebelum Aldo dan Devan benar-benar masuk ke kantin Vera langsung menghadang mereka dan menariknya ke dekat Toilet untungnya suasana sedang sepi.

"Ada apa sih Ver narik-narik kita kesini? Gue lagi laper nih?" gerutu Devan.

"Lho mau tanya Alvaro?" Vera tersenyum mengangguk. Aldo memang peka lain dengan Devan yang kebanyakan bacot.

"Alvaro kemarin berantem sama Randy di caf hmppp" Devan langsung menutup mulutnya saat dapat pelototan dari Aldo.

"Berantem? Randy siapa?" Aldo menatap Devan kesal, mulut Devan memang tidak bisa dikompromi, baru mulut tuh dibogem sama Alvaro baru tuh anak tahu rasa.

"Randy sepupu Alvaro Ver, mungkin masalah keluarga gue gak tahu pasti" Aldo berbicara hati-hati takut ada kata yang salah lain dengan Devan yang suka ceplas-ceplos.

"Yaudah ya Ver kita ke kantin dulu lapar," ucap Devan dramatis sambil memegang perutnya dengan menarik tangan Aldo ke kantin. Perasaannya bukannya membaik tapi malah tidak nyaman saat mendengar dari Devan ditambah Alvaro yang sedang berantem.

"Lho kenapa Ver? Lesu amat" Indah juga menatap Vera heran, " gue? gue gak apa-apa kok mana air gue?" sebisa mungkin Vera mencoba ceria agar kedua sahabatnya itu tidak curiga terutama Mely yang selalu sensitif pada Vera.

Tiba-tiba ada anak yang dateng menghampiri Mely. "Mel lho dipanggil bu Ika disuruh keruangannya"

"Lah tumben lho dipanggil guru" tanya Vera

"kertas ujian biologi gue hilang, jadi gue harus ujian ulang kalau gitu gue duluan" Indah dan Vera manggut-manggut paham.

Seperginya Mely suasana jadi sepi hanya ditempat Vera sangat toidak mungkin kalau suasan kantin menjadi sepi.

"Ver lho tadi lagi tanya Alvaro ya sama Aldo dan Devan?" lagi-lagi Indah mengetahuinya, Vera jadi heran Indah selalu saja tahu tentangnya dan itu hanya dapat dilihat dari raut wajah.

"Iya, jadi sekarang gue gak usah repot-repot ngasih tahu sama lho, akhirnya lho tahu sendiri" Indah tersenyum tipis.

"Emang Alvaro kenapa?"

"Kalau kata Devan sih Alvaro kemarin habis berantem sama Randy sepupunya, masalah keluarga paling" Indah kembali terdiam pikirannya berkelana kemana-mana. Vera menyentuh tangan Indah membuatnya sedikit terkejut.

"Gue rasa dari tadi lho ngelamun ajha Dah"
"Sok tahu lho Ver, lho ajha dari tadi kata Mely melamun juga" sebisa mungkin Indah menutupi kegelisahannya didepan Vera. Tapi Indah sudah terlanjur tertangkap basah oleh Vera.

"Masih gak mau ngaku lho? Sudah keciduk juga lagi bengong, gue ajha selalu terbuka sama lho Dah, masak lho gak? Lho takut gue gak bisa tutup mulut?" Indah langsung menggelengkan kepalanya.

"Bukan gitu Ver maksud gue" mungkin dengan bercerita akan membuat fikirannya akan semakin kurang, Indah menatap Vera.

"Bercerita memang tidak bisa membantu tapi setidaknya dapat beban fikiran kita berkurang Dah"

"Gue benci Ver sama gue sendiri saat seperti ini, rasanya sakit saat perasaan itu Cuma gue sendiri yang rasakan, gue cinta banget sama Devan dan diposisi lain gue masih benci dengan seorang cowok seakan trauma itu kembali, gue kembali sakit sendirian."

Vera langsung merangkul tubuh Indah yang sudah gemetaran karena menangis, Indah sesekali menggigit tangannya agar suaranya tidak didengar orang-orang apalagi keadaan kantin sangat ramai.

Tidak jauh dari tempat duduk Vera, Devan tidak sengaja melihat Indah yang sedang menelungkupkan kepalanya ketubuh Vera ada rasa khawatir melihat Indah, gadis yang selalu sibuk dengan dunianya kini seperti wanita lemah dihadapan sahabatnya.

Tatapan Vera terjatuh pada tatapan meneduhkan Devan seakan ada rasa yang tidak bisa diutarakannya, sesekali Vera melihat Indah dan kembali melihat tatapan Devan seperti ada rasa tapi mereka lebih memilih diam.

"Gue dulu pindah ke Singapura bukan semata-mata ikut bokap Ver, tapi untuk menghilangkan trauma, lho gak tahu Ver gimana sulitnya gue buat ngehilangin kejadian itu, bahkan dokter menyuruh gue untuk dirawat di rumah sakit jiwa jujur keadaan gue dulu sangat tragis.

Tapi dengan semangat nyokap bokap, demi sedikit gue bisa sembuh dan gue lanjut berobat ke singapura dokter memang mengatakan kalau gue sembuh tapi itu tidak total karena penyakit trauma itu dari diri dan pikiran kita sendiri, apalagi yang traumanya seperti gue yang hampir gila" Indah tersenyum miris.

Indah sudah lelah memendam semuanya itu mungkin dengan menceritakan semuanya pada Vera akan lebih membuat suasananya hatinya lebih baik.

"Lho gak boleh pesimis Dah, gue yakin lho bisa sembuh dan inget lho masih punya gue, Mely jangan selalu merasa sendiri. Lho sendiri kan yang bilang sama gue jangan merasa sendiri karena masih ada sahabat yang selalu ada buat kita" Indah langsung memeluk Vera bahagia sahabatnya masih tetap sahabatnya yang dulu, yang selalu ada dan mengerti.

Vera membalas pelukan Indah, Vera jadi paham kenapa dulu Indah pernah menghilang dan tiba-tiba saja kabarnya sudah pindah ke Singapura. Rasanya Vera juga ingin menangis padahal dia sahabatnya tapi Vera malah tidak pernah mengetahui kedaan Indah waktu itu.

"Kalian ini sudah bel bukannya masuk malah peluk-pelukan dikantin, seperti teletabis saja" spontan mereka melepaskan pelukannya, Indah menatap bu Susi si guru garang itu, Indah menggaruk kepalanya yang tidak gatal dia sampai lupa kalau hari sini ada pelajaran bu Susi. Sedangkan Vera menatap sekeliling kantin yang sudah kosong.
*@*

ALVERATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang