"Ikut saya yuk." Riski berdiri menepuk sesaat pantatnya yang kotor karena habis duduk diatas kursi semen.
Celine mengerutkan dahi. "Gak deh Mas, saya kan harus nungguin Zee." Tolak Celine langsung.
Riski tersenyum kecil, gadis ini menjalankan pekerjaan dengan sangat baik. "Zee kan baru masuk kelasnya dan masih lama pulangnya, kamu ikut saya sebentar gak papa kok." Yakinnya.
Celine membenarkan, apalagi ia suka mati gaya kebosanan kalau menunggu berjam-jam disini. Masalahnya Celine gak bisa akrab sama baby sitter lain yang pasti akan bergosip riweuh, Celine paling gak suka ngurusi hidup orang lain.
"Jadi gimana?"
Celine akhirnya mengangguk, "yaudah deh Mas, kita mau kemana emang?"
Riski justru tersenyum sebagai balasan, tanpa mengatakan apapun lelaki itu kembali menggandeng tangan Celine seperti tadi pagi, sepertinya lelaki ini memang sengaja melakukannya.
"Pake seatbelt nya." Peringat Riski kalem.
Celine terkesiap, dengan sedikit kikuk buru-buru memakai sabuk pengaman nya, gara-gara nebak mau kemana ia sampai bengong. Mobil yang ditumpangi mereka melaju membelah jalanan Ibu Kota yang cukup lengang, karena sekarang waktunya jam kerja semua orang.
"Mau coklat?" Celine mengerjap-ngerjap, Riski membuka dashboard. "Itu, ambil aja."
Celine mengangguk canggung sebagai ucapan terimakasih. Dan seperti biasa Riski cuma membalasnya dengan senyuman kalem, lelaki ini sangat sumeh kalau kata orang Jawa.
Sekitar 15 menitan mobil mereka berhenti di depan gedung dua lantai yang memiliki ukuran sedang tapi terlihat sangat modern karena desain yang terbuat dari kaca dan batu marmer.
"Ini dimana?" Heran Celine celingukan, disini masuk ke dalam wilayah elite jadi jalanan pun cenderung sepi bahkan beberapa mobil terlihat berjajar rapi di pinggir jalan tanpa takut di maling. Lagian di tempat se-elite ini siapa juga yang mau maling.
"Ayo!" Riski lagi dan lagi menggandeng tangannya, sampai membuat Celine lama-lama terbiasa, genggaman Riski pas, tidak keras tapi nyaman.
Begitu masuk ke dalam Celine langsung melebarkan matanya, melihat jajaran alat musik disana. Mulai dari piano, gitar, drum, sampai biola pun ada. Ini ... studio musik?
"Mas anak band?" Celetuk Celine tanpa sadar. Membuat tawa geli Riski menguar renyah.
"Kalau dibilang anak band nggak juga, tapi saya memang suka musik."
"Mas pencipta lagu?" Tebak Celine lagi.
Riski makin geli. "Nggak, saya cuma orang yang hobi bermusik, karena itu saya memilih membeli studio musik."
Memang orang kaya, Celine gak kaget lagi.
Padahal sendirinya juga sama kaya nya.
"Kamu mau lihat saya main musik?"
Sontak Celine langsung berbinar. "Mau!"
Riski sangat senang melihat wajah excited gadis ini, perlahan ia beranjak mendekati alat musik nya. "Mau yang mana?" Riski memberi pilihan.
"Mas bisa semuanya emang?" Celine ragu.
"Bisa dong!"
"Oke, kalau gitu biola!" Komando Celine menunjuk biola disebelah Riski.
Lelaki itu langsung mengambil biola tersebut, memposisikannya sedemikian rupa lalu mulai menggesek senarnya, bunyi yang mengalun luar biasa merdu sampai membuat dada Celine terenyuh. Riski terus menggesek senar dan gagangnya dengan mata terpejam, kelihaian tangan dan cara bermain Riski benar-benar layak disebut sebagai profesional.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sugar Daddy(end)
Teen Fiction"Dek Kakak lapar nih, bagi rotinya dong." Celine menatap bocah laki-laki itu melas. "Kakak gelandangan ya?" ceplos bocah itu dengan tampang watados. *** Celine kabur dari rumah karena dipaksa perjodohan oleh keluarganya, berasal dari keluarga kaya n...