Suara riuh terdengar menggema di gedung itu saat mempelai wanita yang digandeng Ayahnya melangkah memasuki altar pernikahan, taburan bunga dan suara tepuk tangan tidak henti-hentinya terdengar sampai sang pengantin berhenti di depan mempelai pria.
Untuk beberapa saat Celine dan Dafa saling bertatapan lekat, nampak pancaran kebahagiaan yang meluap luar biasa dari balik sorot mata mereka.
"Daf saya percayakan Putri saya kepada kamu, tolong jangan kecewakan saya." Pesan Cakra dengan suara dalam, meskipun tidak menangis nyatanya mata Cakra berkaca-kaca.
Dafa mengangguk tegas, "pasti Pah." Janjinya sungguh-sungguh membuat Cakra bisa tersenyum lega.
Secara perlahan Celine melangkah maju, dan dengan lembut menggandeng tangan Dafa, terasa sangat dingin. "Mas Dafa grogi ya," bisik Celine terkekeh.
Dafa menipiskan bibirnya, membentuk sudut senyuman tak habis pikir. "Kamu pikir," balasnya dengan tubuh tremor, apalagi saat pendeta mulai membacakan janji suci.
Mereka dan para tamu undangan yang ada disana seketika mengheningkan cipta khidmat mendengar penuturan pendeta, sampai ketika tiba waktunya Dafa menjawab pertanyaannya.
"Saya bersedia!" jawab Dafa lantang saat pendeta bertanya kepadanya, ruangan masih sangat senyap sampai ketika Celine menjawab jawaban yang sama sekarang ruangan itu meledak pecah oleh suara euforia.
"Saya bersedia!" jawab Celine dengan suara lembut.
Suara yang tadi sudah riuh makin meledak tak karuan, Celine menoleh menatap Dafa dan ternyata lelaki itu juga sedang menatap kearahnya. Tak bisa dipungkiri meskipun ini bukan pernikahan pertama bagi Dafa namun rasa yang tercipta masih sama, tak ada bedanya entah itu pertama atau kedua. Celine pun meneteskan air matanya tanpa sadar, padahal sejak awal yang kelihatan paling tenang adalah Celine nyatanya gadis itu sekarang yang tengah menangis hebat.
Dafa menatap Celine sayu, ibu jarinya secara lembut mengusap air matanya dengan kepala menunduk ke wajah Celine.
Sampailah bibir mereka menyatu menjadi saksi bisu ikatan suci mereka, kali ini meskipun hanya kecupan ringan yang mereka lakukan namun akan menjadi kenangan yang tidak dapat dilupakan, karena ini adalah ciuman sakral mereka.
***
"Mamaaaaah!"
Celine mengerjap senang, langsung memeluk Zee yang berlari kencang kearahnya, kedua pipi gembul bocah itu terlihat bergoyang-goyang akibat berlari.
"Mamah cantik banget." Bisik Zee kemudian mengecup pipi Celine, "ini buat Mamah." Tanpa diduga bocah itu menyerahkan setangkai bunga yang tadi ia pungut dari orang-orang yang melemparkan bunga.
Tak ayal Celine tergelak geli, Dafa dan orang-orang yang berada di sekitar merekapun juga sama gelinya. "Makasih hadiahnya, Mamah suka." Balas Celine menerimanya dengan tulus.
Zee langsung sumringah, sekarang berganti menghadap Papahnya. "Zee gak mau muji Papah ganteng soalnya masih gantengan Zee," ujar bocah itu benar-benar sukses mengocok perut semua orang.
Dafa menggeleng tak habis pikir, berjongkok menyejajarkan tingginya dengan Zee. "Iya kamu ganteng banget, siapa dulu dong Papahnya?" Dafa menepuk kepala Zee gemas.
Zee langsung merengut masam, "dih narsis!"
Dafa tak bisa untuk tidak tertawa renyah sekarang, dengan gemas menciumi wajah anaknya itu yang tentu saja membuat Zee kejer-kejer. Semua orang disana sekarang seperti sedang menonton drama keluarga, tertawa bahagia bersamaan.
Dafa memejamkan matanya, tak pernah menyangka Tuhan akan memberikannya kebahagiaan sebesar ini setelah penderitaannya dahulu. Sekarang ia percaya kalau Tuhan pasti akan memberi yang terbaik kepada hambanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sugar Daddy(end)
Teen Fiction"Dek Kakak lapar nih, bagi rotinya dong." Celine menatap bocah laki-laki itu melas. "Kakak gelandangan ya?" ceplos bocah itu dengan tampang watados. *** Celine kabur dari rumah karena dipaksa perjodohan oleh keluarganya, berasal dari keluarga kaya n...