Chapter 2

6.4K 576 11
                                    

Itu adalah Bryan. Dan pria yang disebelahnya adalah Harry. Mereka satu perkumpulan dan terlihat sedang asik mengobrol.

Ini gila. Aku hanya tidak bisa membayangkannya. Berarti kepribadian Harry tidak jauh dari Bryan. Bryan adalah penyebab utama aku kehilangan pekerjaanku. Ia adalah anggota geng motor, dan senang mengikuti balapan liar. Ia juga sering pergi ke club malam dan minum alkohol. Ia bekerja di Mr. Howard karna terpaksa, ibunya yang memintanya.

Semua ini diluar pemikiranku. Apa jadinya jika kedua musuhku bergabung? Aku akan semakin hancur.

Dan ini bisa memberikan pengaruh yang besar terhadap Alexa jika ia terus bersama Niall. Alexa adalah anak yang baik. Ia hanya terpengaruh oleh lingkungan kekasihnya.

"Alexa! Maddy!" panggil Niall. "Bergabunglah bersama kami."

Aku masih menatapnya enggan. Sementara Alexa terus menarik tanganku. Jadi ya sudahlah, aku ikut saja.

"Hey" sapa Alexa pada teman2 Niall. Sepertinya Alexa cukup dekat dengan teman2 Niall. Ia duduk diantara Niall dan seorang pria berambut coklat, aku tak tahu namanya. Dan sisa nya adalah Harry dan Bryan.

Bryan yang sedang meminum vodka nya tiba2 terbatuk saat melihatku. Aku yakin ia tidak betul2 batuk. Mungkin hanya karna kehadiranku disini.

Tiba2 ia pergi tanpa membawa apapun. Oh, mungkin dia ke toilet. Apa untuk menghindariku? Yang jelas aku butuh bicara dengannya sekarang! Ia menatapku seakan memberi kode agar aku menyusulnya.

"Aku ke toilet." ujarku pada Alexa. Sementara Harry yang dari tadi diam menatapku dengan heran.

Aku mencoba mencari Bryan disekitar toilet. Dan aku menemukannya.

"Hey!" aku menarik dengan kasar jaketnya.

Ia tersenyum kecut kearahku. "Oh, hey. Bagaimana liburanmu sebagai penganggur? Menyenangkan?" cela nya dengan kurang ajar. Mungkin ia kira ini lucu? Tanpa basi2 aku segera menampar wajahnya.

"SHIT" ia memegangi pipinya yang merah karna tamparanku. Matanya melebar dan kurasakan ia mendekat kearahku. "Jadi? Apa yang membuatmu berani menamparku?" ia mendorongku ke tembok dan mengangkat daguku agar mendongak. Sementara aku menangkis tangannya.

"Apa yang kau mau dariku hah? Kehilangan pekerjaanku? Jika kau mau mengancurkan hidupku, ya kubilang kau berhasil. Aku benar2 sengsara karena itu!" tuturku kesal. Nafasku tak teratur. Aku benar2 ingin teriak sekencang2nya.

"Aku turut berduka cita." ia menyeringai. Dan aku membenci seringaiannya itu. Aku membenci sifat buruk nya. "Sudah. Aku malas berbicara denganmu." ujarnya.

Namun terlebih dahulu aku menarik pergelangan tangannya dan membuat pria itu mendongak, "Masalah kau dan aku belum selesai."

Ia terdiam. Menatapku selama beberapa saat sebelum akhirnya ia mendekat kearahku lagi. "Lalu apa maumu?"

"Aku hanya minta kau carikan ku pekerjaan yang baru."

"Tidak sulit. Aku tahu solusinya." ia tertawa lalu mengangkat jari telunjuknya didepan wajahku. "tapi ingat. Kita adalah musuh. To the point saja, aku sangat membencimu sejak awal kita bertemu dan aku berniat untuk menghancurkanmu. So, tidak mungkin aku membantumu."

Terserah apa katanya. Aku tidak peduli lagi dengan bajingan yang satu ini. Ia benar2 sudah gila. Tapi, ya aku cukup terkesan dengan kejujurannya. Ia begitu lancang menyampaikan rasa bencinya padaku. "Terimakasih"

Bryan menaikkan sebelah alisnya seakan bingung dengan apa yang kukatakan tadi.

"Terimakasih atas penyampaiannya. Aku senang kau jujur." kataku sambil tersenyum. Ia melihatku dengan heran, masih dengan wajah sinisnya.

Emergency Couple // h.sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang