Hari ini hari tersial mungkin bagi Anindya. Terjerat dengan lelaki yang tak pernah ia kenal. Yang yang paling membuat Anindya sedih adalah alasan ayahnya menjodohkannya.
"Sah?" tanya penghulu dengan lantang.
"SAH!" Jawab saksi dan seluruh undangan yang menyaksikan.
Detik ini dia sudah sah menjadi istri seorang Narendra Andrianka, diusianya yang baru tujuh belas tahun, bahkan juga belum lulus sekolah.
Pernikahan mereka hari ini sangat sederhana, hanya di hadiri oleh keluarga besar, teman dekat, dan beberapa rekan bisnis kedua keluarga. Pernikahan ini juga hanya dilaksanakan di kediaman Derandra.
Anindya dan Narendra sudah hampir satu jam di pajang, menyalami para tamu dan berfoto.
"Wihh belah duren malem ini Ren," ucap Aska sembari menaik turunkan alisnya.
"Bacot! Pergi aja lo sono!" Tatapan Narendra membuat nyali Aska ciut.
"Santai dong Ren." Aska lalu beralih ke Anindya.
"Selamat ya Nin, sabar sabarin nikah ama Naren."
"Lo sekarang udah nikah, jaga Anindya yang bener, dia prioritas lo sekarang," ucap Fadil menasehati. Tak ikhlas sebenarnya melepas Anindya begitu saja, tapu apa boleh buat, karena tak ada seorang pun yang tau tentang perasaannya.
Kedua curut tadi sudah turun dari panggung, tak terlihat batang hidungnya. Lagi bungkus makanan mungkin di belakang.
"Nindyyy!! Huaa!! lo udah nikah aja." Elvira lantas menubruk Anindya.
Pelukan sedikit terurai, Elvira mengamati wajah sendu sang sahabat, terlihat banyak kesedihan di wajah yang terlihat tersenyum itu. Elvira kembali mengencangkan pelukannya.
"Lo kuat, pasti. Kalo ada apa-apa jangan segan-segan bilang sama gue," bisik Elvira di telinga Anindya lalu melepaskan pelukan mereka.
"Dan lo!" Elvira menunjuk ke arah Narendra.
"Kalo lo berani nyakitin sahabat gue seujung kuku pun, mati lo sama gue," ucap Elvira sangar.
~~
Anindya merebahkan tubuh di kasur kesayangannya. Ia sungguh lelah hari ini, harus pura pura bahagia di depan banyak orang sungguh menguras energi.
Ceklek..
Pintu terbuka memperlihatkan Narendra di depan sana. Narendra masuk lalu menutup kembali pintu.
Tak memperdulikannya, Narendra lalu berjalan menuju sofa, mendudukan bokongnya dengan mata terpejam.
Anindya tak terusik sedikit pun, bodo amat lah. Energinya sudah habis tak tersisa, ia sedang tak mau berdepat untuk saat ini.
"Kalo lo mau mandi, lo duluan sana," ucap Anindya tanpa melihat lawan bicaranya.
Narendra berdehem lalu berjalan memasuki kamar mandi. Sepuluh menit berlalu, Narendra keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang sudah melekat pada tubuhnya.
"Ngapain lo?" Tanya Anindya merasakan pergerakan pada kasurnya.
"Tidur."
"Gak risih lo, gue belum mandi gini?" Narendra tak menggubris sama sekali lalu memejamkan matanya.
"Padahal kan gue sengaja gak mandi biar dia gak mau sekasur ama gue, tau gitu gue mandi dari tadi deh," batin Anindya mencibir.
Anindya turun dari kasurnya berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Tak membutuhkan waktu lama, Anindya sudah keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang sudah lengkap.
Anindya jalan mendekati kasurnya yang terdapat seonggok tubuh di atas kasur kesayangannya itu. Tak rela sebenarnya untuk berbagi kasur, tapi apalah daya ia benar-benar lelah hari ini.
"Jangan tidur," titah Narendra.
"Hah?"
"Beres-beres sana!"
"Hah?! Apa yang musti gue beresin bambang! Lo suruh gue beresin ketering di bawah?! Apa dekorasinya?!" Sungguh Anindya lelah hari ini, moodnya benar benar hancur berantakan.
"Baju lo!"
Anindya menghela nafas sejenak, mengumpulkan kesabaran untuk menghadapi manusia satu ini.
"Bapak Narendra yang terhormat, tolong ya kalo ngomong itu pakai s-p-o-k! Biar saya mudah memahami ucapan anda! Jangan cuma bilang satu kata doang, ya gue mana paham! Baju lo, baju lo! Baju gue di lemari noh udah rapi!!" cerca Anindya.
"Beresin baju lo ke koper besok kita pindah."
"Gitu kek dari tadi! Eh apa?! Pindah? Kemana?" Oke. Kayaknya otak Anindya masih ngebug.
"Rumah." Jawab Narendra singkat.
"Istighfar dulu Nin. Astaghfirullah haladzim, astaghfirullah haladzim," gumam Anindya sembari mengelus dadanya.
"Rumah mami?" Tanya Anindya sabar.
"Bukan."
"Terus?"
"Rumah gue."
"Rumah lo? Sejak kapan lo punya rumah?"
"Lo gak ada hak tanya-tanya," jawab Narendra.
~~~
Detik berganti menit, menit berganti jam, hari berganti hari. Anindya sudah rapi dengan satu koper di tangannya. Sore ini ia dan Narendra pamit guna menempati rumah baru mereka.
Papi dan mami sudah sejak pagi meninggalkan kediaman Derandra. Sekarang giliran Anindya meninggalkan rumahnya, rumah yang menjadi saksi bisu atas segala kesedihan yang ia alami.
"Pa, ma, Naren ijin bawa Anindya nya ya." Izin Narendra pada kedua mertuanya itu. Yang sebetulnya hanya gimik belaka.
Narendra lantas menyalimi tangan Risky lalu bergantian dengan tangan Rania. Setelahnya Narendra mengambil alih koper Anindya guna ia masukan ke dalam bagasi mobil.
"Anindya pergi ya ma pa, Nindy pasti sering sering kesini kok," ucap Anindya.
"Gak usah kesini juga gak papa," sinis Risky.
Hati Anindya sakit saat papa kandungnya sendiri berkata demikian. Tak bisa kah papa nya berkata lembut untuk hari ini saja.
Anindya mengulurkan tangan guna menyalimi kedua orangtuanya.
"Sudah sana, Naren sudah menunggu lama!" Anindya seperti ditimpuk ribuan ton batu, sakit. Bagaimana tidak, ia diusir oleh papanya sendiri.
"Nindy pamit ma, pa. Assalamualaikum." Bulir bening jatuh setetes dari mata kirinya.
Mobil Narendra perlahan keluar dari halaman rumah Derandra.
"Ayo ma, masuk!" Titah Risky pada sang istri.
"Iya pa," jawab Rania.
Melihat istrinya tak kunjung masuk Risky pun memilih untuk masuk terlebih dulu.
Sedangkan Rania masih setia memandangi mobil yang membawa putri kecilnya itu dengan sorot sendu.
"Maafin mama kak, maafin mama." Tak terasa setetes air mata jatuh dari matanya. Lalu ia pergi masuk ke dalam rumah.
.
.
.
Gimana buat part ini?Selasa, 21 September 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANINDYA [END]
Teen FictionHidup menjadi anak tunggal dari keluarga yang berkecukupan tak menjamin kebahagiaan Anindya. Hidup dengan dihantui bayang bayang masa lalu yang membuat ia dibenci oleh kedua orang tuanya sendiri. Hingga pada suatu hari ia dijodohkan dengan anak kole...