Plakk..
Ingatannya berputar kembali. Baru saja Anindya melangkahkan kaki ke dalam rumah, tiba-tiba ia dihadiahi sebuah tamparan keras dari Narendra.
"Dari mana lo?!!" bentak Narendra.
"Udah berani ilang-ilangan ya."
"Lo udah bikin wanita paling berharga di hidup gue nangis!!"
"MAMI NANGIS KARENA ELO!!"
"BAHKAN MAMI BERANI NAMPAR GUE! LO TAU ITU?!!"
"Tujuh belas tahun mami gak pernah main fisik sama gue, sekarang mami berani nampar gue CUMA GARA GARA ELO ANINDYA!!" Pertahanan Anindya runtuh, ia menangis.
"Lo kemana aja gue tanya?!!"
"Gue telpon nomor lo gak aktif, mami nangis-nangis cariin lo dan lo malah enak-enakan main sama Vira tanpa izin!!"
"Harusnya lo tu sadar diri!! Lo ada tanggung jawab disini, gak bisa sesuka lo sendiri!!"
"Tanggung jawab kamu bilang?" kini Anindya mulai berucap dengan lirih.
"TANGGUNG JAWAB KAMU BILANG!!" ulang Anindya.
"Aku kurang apa sih Ren?! Aku udah ngurusin kamu tanpa sedikitpun kamu perduli, aku beresin rumah ini sendiri, nyiapin kebutuhan kamu. Itu semua aku yang ngelakuin Ren! Dan kamu masih bilang aku gak bertanggung jawab?!!"
"Harusnya yang dipertanyakan tanggung jawabnya di sini kamu, Narendra!!"
"Kamu tau gak apa yang aku alamin kemarin? Tau gak apa yang udah istrimu alamin? Enggak kan?!!"
"Aku cuma nenangin diri di rumah Vira. Aku capek Ren, capek!!" Tangis Anindya semakin pecah.
"Kamu lihat ini?" ucap Anindya menunjuk pipinya.
"Tamparan dari papa kemarin belum sembuh, dan kamu tambah lagi?" Anindya mengambil oksigen banyak banyak untuk sedikit menenangkan diri.
"Dan maaf udah buat mami nangis," ucap Anindya lalu melangkah masuk ke kamarnya.
Sampai di kamar Anindya menenggelamkan tubuhnya di atas kasur. Menangis kembali, menumpahkan segala rasa sakit yang ia alami.
"Tuhan izinkan aku bahagia, sebentar saja."
Setelah lelah menangis, Anindya tertidur dengan sendirinya. Ia lelah, raga dan batinnya lelah. Apakah ia tak boleh bahagia, tuhan?
~~
Anindya mengejap-ejapkan matanya dengan tangan yang meraba meja kecil di samping tempat tidur mencari jam weker kesayangannya.
"Hah! Udah jam tiga aja." Anindya melonjak kaget.
"Mampus gue belum beres-beres." Walaupun Anindya sedang ada masalah, namun ia tak lupa dengan kewajibannya. Ia harus tetap membersihkan rumahnya, ia tak mau menumpuk pekerjaan yang malah membuatnya semakin berat.
Anindya lantas mengambil kuncir rambut yang ada di meja lalu mengikat rambutnya asal.
Melangkah ke bawah, menyelesaikan satu demi satu pekerjaan yang harus ia selesaikan.
Jam menunjukkan setengah enam sore, rumah sudah bersih, wangi serta kinclong. Meja makan pun telah terisi berbagai macam masakan untuk makan malamnya.
Kini Anindya memutuskan untuk membasuh tubuhnya terlebih dahulu, menghilangkan bau bau tak sedap yang ada di tubuhnya.
Namun belum sampai kakinya menginjak anak tangga, handphonenya sudah dulu bergetar. 'Mami' tulisan itu terpampang di layar handphone Anindya.
"Halo mi," sapa Anindya.
"Halo nak, udah pulang? Kamu gak kenapa napa kan?" ucap mami dengan nada khawatir.
"Nindy udah pulang dari tadi kok mi, mami gak usah khawatir Nindy baik baik aja," ucap Anindya menenangkan sang mertua.
"Tadi mami khawatir banget nak sama keadaan kamu, kamu beneran gak papa kan?"
"Nindy gak papa mi."
"Mami niatnya mau ke rumah kamu, tapi mami ada urusan mendadak. Maaf ya nak mami gak bisa kesana sekarang."
"Iya gak papa kok mi."
"Emm, mi?" Sambungnya.
"Iya sayang?"
"Nindy minta maaf ya mi, Nindy udah buat mami khawatir, udah buat mami nangis tadi dan Nindy mohon jangan sakitin Naren cuma karena Nindy ya mi."
"Iya sayang, maaf juga mami tadi refleks nampar Naren."
"Iya mi. Nindy cuma gak mau hubungan mami sama Naren rusak cuma gara gara Nindy. Nindy merasa bersalah mi."
"Kamu gak usah merasa bersalah sayang. Hm yaudah ya mami udah di panggil papi itu."
"Iya mi, mami hati hati ya."
"Kamu juga sayang, kapan kapan kita ngobrol lagi ya."
"Siiap mamii." Ucap Anindya di akhiri kekehan.
Panggilan pun terputus, Anindya kembali melangkahkan kaki melanjutkan niatnya tadi.
Setelah selesai mandi ia berniat makan malam terlebih dahulu sebelum berkutat dengan buku bukunya, tapi sebelum itu ia ke kamar Narendra terlebih dahulu, melihat apa yang dilakukan lelaki itu.
Tok tok tok..
"Ren makan dulu yuk!" Ajaknya.
Hening..
"Ren aku tau kamu marah, tapi jangan nyiksa diri kamu sendiri. Makan dulu yuk Ren."
Tak ada balasan..
"Aku masuk ya."
Masih tak ada jawaban.
Ceklek..
Pintu terbuka memperlihatkan kamar Narendra yang kosong, tanpa ada Narendra di dalamnya.
"Gue ngomong panjang lebar, ternyata orangnya gak ada," ucap Anindya.
Melihat Narendra tak ada di kamar, Anindya lantas ke bawah makan malam sendirian. Setelah menghabiskan makan malamnya, Anindya bergegas masuk ke kamar mengambil buku buku yang akan ia pelajari, entahlah ia sedang ingin belajar di kamar tengah. Tidak, sebenarya ia ingin menunggu Narendra yang pergi entah kemana.
.
.
.
Yuhuu!!See you next part 🤗
Selasa, 5 Oktober 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANINDYA [END]
Teen FictionHidup menjadi anak tunggal dari keluarga yang berkecukupan tak menjamin kebahagiaan Anindya. Hidup dengan dihantui bayang bayang masa lalu yang membuat ia dibenci oleh kedua orang tuanya sendiri. Hingga pada suatu hari ia dijodohkan dengan anak kole...