24. Pulang

260 48 7
                                    

" namanya juga rindu. Obat yang tepat ya cuma ketemu"

*****

Hasan dan Husain terus memeluk tubuh (Namakamu) erat, rasa rindu yang sudah mereka pendam selama berhari hari ahirnya bisa tersalurkan. Sejak kedatangan (Namakamu) 30 menit yang lalu keduanya tidak ada satu inci pun niat melepaskan pelukannya. Iqbaal yang berada di di sudut tempat tidur pun hanya bisa menatap ketiganya sendu, tidak ada tempat baginya untuk bersandar manja dengan (Namakamu) saat ini, padahal yang rindu bukan hanya Hasan dan Husain, dirinya juga rindu dengan (Namakamu) yang tidak Ia temui berhari hari.

Iqbaal mendengus kesal, "Bang gantian, Ayah dong mau peluk Bunda," sendu Iqbaal mencolek pipi gembul milik Hasan.

Hasan menggeleng, mengangkat tangannya dengan satu jari Ia gerakkan ke kanan ke kiri,"Nda oyeh. unda unya Bang San," tolaknya menatap sang Ayah dengan mata Ia buat se tajam mungkin walau malah terlihat lucu.

Iqbaal menunduk lesu, Ia tidak bisa berbuat apapun jika Hasan dan Husain tidak mau melepaskan pelukannya. (Namakamu) terkekeh lemas melihat Iqbaal yang tampak lesu, dirinya harus rela mengalah demi Hasan dan Husain.

(Namakamu) membelai kepala Hasan dan Husain lembut,"Abang," panggil nya lemas.

Hasan dan Husain dengan bersamaan mengangkat kepalanya menatap sang Bunda,"Ya unda."

(Namakamu) tersenyum mengusap pipi Hasan dan Husain,"Abang Hasan sama Husain anak pinter kan?," Tanya (Namakamu) lemas.

Keduanya mengangguk setuju,"Em nda."

(Namakamu) tersenyum menatap Iqbaal sekilas lalu berganti menatap Hasan dan Husain, "Bunda mau peluk Ayah sebentar, boleh kan?," tanya (Namakamu) membuat senyum Iqbaal mengembang.

Keduanya menatap sang Ayah yang tengah merubah ekspresi nya menjadi sedih kembali, "Oyeh" setuju keduanya melepas pelukannya dari tubuh sang Bunda.

(Namakamu) merentangkan tangan ke arah Iqbaal, tidak mau menyiakan waktu, Iqbaal langsung menyambut tangan (Namakamu) dan memeluk tubuhnya erat. Iqbaal pun mencium puncak kepala (Namakamu) berkali kali, tidak lupa mencium pipi (Namakamu) yang tampak mengembang sejak terahir kali Ia bertemu.

"Aku kangen," keluhnya manja dengan terus mencium puncak kepala (Namakamu).

(Namakamu) terkekeh lemas melihat tingkah Iqbaal yang seperti anak kecil, "Aku juga kangen," balasnya menepuk punggung Iqbaal lembut.

Sebuah tarikan kecil pada lengan Iqbaal membuatnya tersadar dari kenyamanan nya,"Dah yah dah!," Teriak Hasan ketika tidak berhasil menarik tangan sang Ayah.

Husain pun tidak tinggal diam, Ia sedari tadi mencoba melepas jadi jari sang Ayah yang berada di punggung sang Bunda, "Yah dahhh!," Teriaknya yang kesal karena tidak berhasil melepaskan tangan sang Ayah.

Iqbaal menggeleng mengeratkan pelukannya pada tubuh (Namakamu), "Ayah minta lima menit lagi," tawar Iqbaal yang masih belum rela melepaskan (Namakamu) dari pelukannya.

Hasan yang kesal menepuk lengan Iqbaal walau tidak terasa,"No yahhh no. Pas yah pas!," teriaknya hampir menangis

Hasan yang hampir menangis pun terus menarik lengan Iqbaal untuk melepaskan pelukannya dari tubuh sang Bunda, namun semua berbanding terbalik dengan Husain yang sudah duduk dengan bibir yang melengkung ke bawah siap siap akan menangis.

(Namakamu) yang tadinya terkekeh langsung menepuk tangan Iqbaal ketika melihat Husain yang akan menangis,"Iqbaal. Husain nangis," panik (Namakamu) langsung mendengar suara tangisan dari Husain.

Iqbaal yang panik langsung melepaskan pelukannya dari tubuh (Namakamu), "Eh ini Ayah lepas, Ayah lepas cup cup jangan nangis," panik Iqbaal mengangkat tubuh Husain ke gendongannya.

Husain memberontak di gendongan Iqbaal, membuat nya hampir terjatuh, "Yah kal nda yah kal," keluh Husain memukul tubuh Iqbaal.

(Namakamu) merentangkan tangannya untuk mengambil alih Husain dari gendongan Iqbaal,"Sini sama Bunda," tarik (Namakamu) memangku Husain yang langsung menyembunyikan wajahnya di leher sang Bunda.

Iqbaal hanya bisa tersenyum tidak enak melihat Husain yang masih sesegukan di pelukan (Namakamu). Hasan yang melihat sang adik menangis pun tampak diam sembari menepuk pantat Husain agar cepat diam. Mata bulatnya tampak berkedip menatap sang Ayah, mata bulat dengan sisa air mata membuat Iqbaal semakin tidak enak. Apalagi mendengar (Namakamu) yang tampak meringis sakit membuat nya semakin merasa bersalah.

(Namakamu) tersenyum lembut pada Iqbaal mengisyaratkan jika semuanya baik baik saja, "Nggak papa. Minta tolong ambilin air anget di dapur Baal," pinta (Namakamu) yang merasakan kering di tenggorokan nya

Iqbaal mengangguk dengan cepat berlalu menuju dapur untuk mengambil minum, langkahnya terhenti ketika melihat mama dan papa (Namakamu) tengah tertidur di sofa ruang keluarga.

Iqbaal berjalan menghampiri keduanya dan berjongkok di depannya, "Mah, Pah," Panggil Iqbaal pelan.

"Enghhh kenapa Baal?," tanya Papa yang bangun terlebih dahulu.

Iqbaal berdiri menggeser tubuhnya dan duduk di kursi singel, "Pindah ke kamar aja. Nanti badannya sakit kalau di sofa lama lama," pintanya yang tidak tega jika keduanya terus terusan tidur di sofa.

Papa mengangguk dengan mata yang masih setengah tertutup, "Ah iya. Ini Mama sama Papa ke kamar," ucapnya mencoba membangunkan Mama Fira.

Setelah sedikit mengumpulkan nyawa,Papa dan mama Fira langsung berjalan menuju kamar tamu dengan langkah yang masih sedikit terhuyung.

Iqbaal menghela nafas berat, rasa tidak enak menyeruap di dalam hatinya. (Namakamu) yang seharusnya adalah tanggung jawabnya saat di rumah sakit, malah di bebankan kepada kedua orang tuanya yang rela menjaga (Namakamu) siang dan malam.

Iqbaal memungut beberapa snak yang berada di lantai dan membawa nya menuju dapur untuk di buang. Iqbaal mengambil gelas dan menuangkan air panas yang Ia campur dengan sedikit air dingin agar menjadi hangat.
Tidak lupa Ia membawa beberapa potong buah untuk mengisi perut (Namakamu).

Saat memasuki kamar Iqbaal melihat Hasan dan Husain yang tampak terlelap. Husain yang berada di pangkuan (Namakamu) dan Hasan yang tidur tengkurap di samping (Namakamu).

"Tidur?," Tanya Iqbaal pelan setelah menaruh gelas dan piring di atas meja.

(Namakamu) mengangguk mengecek Husain apakah sudah benar benar terlelap dengan nyenyak, "Udah capek main mungkin. Udah jam tidur siangnya juga," ucapnya ketika Iqbaal memindahkan tubuh Husain dengan perlahan.

Keduanya tampak tertidur dengan pulas, tampak bekas air mata yang mengering tercetak jelas di pipi Husain membuat Iqbaal terkekeh.

(Namakamu) mengambil gelas yang berada di atas nakas dan meminumnya, "Mereka anteng kan selama aku nggak ada?," Tanya (Namakamu) setelah meminum air tersebut sampai seperempat gelas.

Iqbaal mengangguk mengusap pipi Husain lembut, "Anteng kok. Hasan sama Husain pinter banget, nggak pernah nangis nyari mamanya. Paling nanyain kapan mama pulang," jelasnya yang terkekeh mengingat bagaimana Ia yang terkadang menjahili Hasan dan Husain.

(Namakamu) menatap sendu ke arah Hasan dan Husain, "Pasti sedih banget Hasan sama Husain nggak bisa ketemu Mamanya," ucapnya sendu.

Iqbaal tersenyum mengelus kepala (Namakamu) lembut," mereka bisa lebih sedih kalau liat mamanya nangis kaya gini," ucap Iqbaal menghapus air mata (Namakamu) yang menetes membasahi pipinya.

" Rindu pada orang tersayang adalah hukuman paling menyakitkan"

*****

Bunda dan si kembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang