25. Ratu di Rumah

281 44 7
                                    

" mereka yang mempercayai mu akan terus menggenggam tanganmu sampai kamu lupa dan mengecewakannya"

*****

Pagi ini, (Namakamu) tengah duduk di halaman belakang dengan kursi yang sengaja Iqbaal angkat dari ruang tamu, Ia tengah menikmati hangatnya mentari pagi yang menyinari tubuhnya. Suara kicauan burung yang ada di atas pohon pun seperti alunan musik yang indah.

(Namakamu) tersenyum ketika melihat Hasan dan Husain yang tengah bermain air, keduanya membawa ember kecil yang di celupkan ke ember besar yang terisi air. Hasan dan Husain berlari kesana kemari sembari membawa air di tangannya.

"Hasan Husain, mainnya hati hati ya!," Panggil (Namakamu) membuat keduanya berbalik menatap sang Bunda.

"Iyaaa ndaa," jawab keduanya bersamaan.

Keduanya pun melanjutkan bermain bersama. Tampak Hasan yang mengambil air dan menuangkan nya ke salah satu bunga yang tak jauh dari tempatnya.

Husain berjongkok dan berpindah tempat beberapa kali, "Nda muttt, ndak mutt!," Teriak Husain yang menemukan lubang semut yang tengah di penuhi oleh semut semut.

(Namakamu) tampak panik ketika Husain memasukkan jarinya ke dalam lubang semut tersebut, "Husain jangan main di situ. Biarin semutnya cari makan. Husain jangan nak!," Tegur (Namakamu) mencoba berjalan dengan perlahan ke tempat Husain.

Husain tampak tertawa ketika beberapa semut menempel di jarinya, namun tak berapa lama Husain teriak kesakitan ketika semut tersebut menggigit nya, "Unda kit Unda Akit," teriak nya menangis dan berlari ke arah ( Namakamu) yang tengah berjalan dengan perlahan.

Mendengar suara tangis ,Iqbaal yang tengah memasak pun buru-buru mematikan kompornya dan berlari ke halaman belakang, " kenapa, ada apa?," Tanya Iqbaal panik.

"Di gigit semut," jelas (Namakamu) mengelus kepala Husain yang tengah di tenangkan oleh sang kakak ya itu Hasan. Tadi saat Husain berlari kencang ke arah sang Bunda, dengan sigap Hasan lebih dulu menubruk tubuh Husain dan memeluknya agar berhenti menangis. Hasan pun tidak hentinya meniup jari Husain yang sempat di gigit oleh semut.

"Dah Bang iup, anti embuh," ucap Hasan membuat tangis Husain semakin mereda.

Iqbaal mendekat dan menuntun (Namakamu) untuk duduk kembali, "Aku kira kenapa. Takut kamu jatuh apa gimana," ucap Iqbaal tampak lega.

(Namakamu) tersenyum lembut, "Nggak ko, aku duduk aja dari tadi," ucap (Namakamu) setelah duduk di kursinya di bantu Iqbaal.

Iqbaal mencium puncak kepala (Namakamu) lembut, "Pinter, jangan capek capek sayang. Biar aku aja yang kerjain semuanya," pinta Iqbaal yang tidak ingin (Namakamu) terlalu lelah.

(Namakamu) terkekeh, Ia ingat dengan kata kata yang di ucapkan Iqbaal tadi pagi saat Ia baru saja bangun," hallo yang mulia ratu, selamat pagi". Mengingat nya saja membuat (Namakamu) ingin tertawa, apalagi saat melihat Iqbaal yang memakai sebuah celemek yang Ia buat seperti gaun yang biasa di pakai oleh asisten rumah tangga di kerajaan.

Iqbaal berjongkok menggenggam tangan (Namakamu) lembut, "Aku mandiin Hasan sama Husain dulu ya, kamu tunggu sini aja. Nanti kalau udah selesai sama mereka baru aku mandiin kamu," ucap Iqbaal mendapat tangan (Namakamu) melayang di pipinya, "bantuin maksudnya," larat Iqbaal mengusap pipinya yang terkena pukul.

Iqbaal pun bergegas menghampiri Hasan dan Husain, dengan sekali gendongan Hasan dan Husain Ia bawa menuju kamar untuk di mandikan.
Dengan telaten Iqbaal memandikan keduanya, setelah mandi Iqbaal pun membawa keduanya menuju kamar.

Iqbaal meletakkan kedua yang terlapisi oleh handuk ke atas tempat tidur, "Abang Ayah pakein baju terahir nggak papa?," Tanya Iqbaal kepada Hasan yang tengah menuangkan minyak ke telapak tangannya.

Hasan mengangguk mengusap kan minyak yang ada di telapak tangannya ke perut, "Ndak pa Yah. Dek Sen uyu bayu Bang San," ucap Hasan mesetujui ucapan sang Ayah.

Iqbaal tersenyum mengusap kepala Hasan dengan bangga, Ia berjalan mengambil baju milik Hasan dan Husain yang tersusun sedikit rapi di dalam lemari. Jangan tanya siapa yang melipat, tentulah Iqbaal pelakunya.

Iqbaal tersenyum senang ketika melihat Hasan dan Husain sudah rapi dan wangi. Iqbaal pun menggendong keduanya menuju ruang keluarga, Iqbaal memberikan keduanya sepiring apel dan menyalakan Tv untuk mereka.

Setelah keduanya fokus ke layar Tv, Iqbaal berjalan menuju halaman belakang untuk membantu (Namakamu).

"Yuk masuk," ajak Iqbaal yang berjongkok di samping (Namakamu), "udah mulai panas nih," ucapnya merasakan matahari yang mulai terasa panas di kulitnya.

(Namakamu) mengangguk menerima uluran tangan Iqbaal, mereka berjalan dengan perlahan menuju ruang keluarga menyusul Hasan dan Husain yang sudah ada di sana.

Dengan perlahan Iqbaal mendudukkan (Namakamu) di atas sofa tidak lupa memberi bantal ke punggung (Namakamu),"Aku lanjut masak dulu ya, bentar lagi mateng kok," pamit Iqbaal langsung berlari menuju dapur.

Iqbaal sedikit bersenandung ketika tengah membalik ayamnya yang sudah mulai matang, "hihhh wadau panas," keluh Iqbaal meloncat kepanasan ketika minyak panas tidak sengaja mengenai tangannya.

"Kalau bukan minyak panas, udah gua pukul lu," keluh Iqbaal mencoba membalik potongan Ayam dengan kepala dan badan yang menjauh,  satu tangan Ia gunakan untuk memegang tutup panci dan tangan yang satu lagi di gunakan untuk membalik Ayam.

Iqbaal bernafas lega ketika potongan ayam sudah terbalik dengan sempurna, tanpa menunda lebih lama Iqbaal kembali berkutat dengan wortel dan kubis  yang belum sempat Ia potong.

Iqbaal merengek seperti orang yang tengah menangis ketika menumbuk bumbu untuk membuat sup, beberapa kali Iqbaal mengusap matanya agar tidak perih, namun bukannya membaik kedua matanya semakin perih di buatnya.

"Huaa Bunda perih," keluh Iqbaal berjalan dengan cepat menuju wastafel, tanpa menggunakan tangan Iqbaal mengguyur kedua matanya begitu saja di bawah air keran.

"Iqbaal kenapa!," Teriak (Namakamu) dari arah ruang keluarga.

Iqbaal menegakkan tubuhnya melihat ke arah meja makan, memastikan (Namakamu) tidak berjalan menuju dapur, "Bawangnya nakal sayang!," Teriaknya kembali membasuh kedua matanya.

Hening beberapa saat membuat Iqbaal was was, "Jangan terlalu kenceng numbuknya, biar nggak loncat ke mana mana!," Teriak (Namakamu) lagi membuat Iqbaal bernafas lega.

"Iya ibu ratu!," Teriaknya mengusap kedua matanya menggunakan tisu.

"Heh Bawang merah, Lu kalau nakal Gua laporin ibu peri ya, anteng ngapa ih kaya bawang putih," omel Iqbaal sembari menumbuk kembali bumbu tersebut, "jawab, malah diem aja. Iya tuan," ucap Iqbaal dengan Ia sendiri yang menjawab seolah olah bawang merah yang menjawabnya.

Iqbaal terkekeh menepuk keningnya sendiri, lama lama Ia jadi gila kalau terus terusan berbicara dengan bawang merah dan bawang putih du hadapannya.

"Iqbaal, jangan lupa di kasih garem!," Teriak (Namakamu) membuat Iqbaal menepuk keningnya karena lupa memasukkan garam di sayurnya.

Terpaksa Ia meletakkan kembali panci berisi sayur tersebut ke atas kompor.

" Bukan seberapa cantiknya kamu, tapi seberapa berharganya dirimu di mata orang yang kamu cintai"

*****

Bunda dan si kembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang