Part Twelve

1.8K 212 10
                                    

Budayakan Vote & Comment

Sorry for typo

©Park_213

[230921]

Present...
.
.
.
.
.
🐥🐰
.
.
.
.
.

Musim salju pertama di Ingris, membuat Jimin yang terlahir di Korea dan tidak pernah melihat salju pertama turun sebelumnya, merasa terkesima dengan salju pertama yang dilihatnya.

“Jadi ini yang namanya salju pertama.” batin Jimin senang.

Dia termenung di jalanan. Dengan riang, Jimin mengejar salju yang beterbangan.

Tiba-tiba dia sadar, sudah berjalan terlalu jauh. Jimin tersesat.

Tapi dia masih beruntung walaupun terlambat 45 menit, akhirnya dia bisa menemukan jalan pulang.

“Tidak mengundangku masuk untuk secangkir cokelat panas? Ini bukan cara untuk membalas jasa penolongmu, kan.” pria tinggi bernama Klein tersenyum, rambut hitamnya penuh dengan salju.

“Aku…..tidak bisa.” jawab Jimin gugup.

“Apa kau tinggal dengan kekasihmu?” tanya Klein.

Tinggal dengan kekasih? Dia tidak bisa menjelaskanya sekarang.

“Aku tinggal di rumah majikan.” jelas Jimin, mungkin ini alasan terbaik.

“Majikan?!”

“Aku membersihkan rumah dan memasak untuk uang kuliahku.”

Klein mengangguk.

“Mahasiswa Korea yang kukenal, semuanya adalah anak yang manja. Mereka hanya mengharapkan kiriman bulanan orangtua.”

Di Inggris, seorang anak yang genap berusia 18 tahun biasanya telah lepas dari tanggung jawab orangtua dan bertanggung jawab penuh atas kehidupannya sendiri. Belajar sambil bekerja adalah hal yang wajar disini. Tapi itu seharusnya tidak terjadi di Korea, karena orangtua Asia masih sangat melindungi anak-anak mereka.

“Takdirku tidak semujur itu.”

“Kalau begitu, lain kali saja traktir cokelat panas.” Klein memberikan ide.

Di mata Klein, Jimin adalah pemuda yang misterius. Setiap hari rutin belajar, lalu pulang. Kalau tidak ada mata kuliah, jarang sekali berada di kampus. Jimin tidak mengikuti kegiatan ekstrakulikuler kampus, juga tidak bergabung dalam klub-klub di kampus. Inilah yang membuat Klein semakin penasaran dengannya.

“Iya, lain kali pasti akan kutaktir.” ucap Jimin sambil tersenyum.

“Sampai jumpa.” Klein membenarkan syalnya, meniup kedua tangannya yang dingin lalu memasukkannya ke saku coat hitam, melempar senyum pada Jimin dan beranjak pergi.

Jimin berada di Inggris kurang lebih tiga bulan. Kekhawatiran yang semula selalu mengikutinya, perlahan mulai memudar seiring dengan semakin lancar kehidupan kampusnya.

Teman kampus dan dosen sangat membantu. Dia seperti berada di gurun pasir yang selalu haus akan pendidikan. Setiap hari terus belajar dengan tekun. Jimin sangat bahagia, lebih ceria, lebih optimis, dan sering tersenyum daripada saat-saat dulu.

Jimin bersenandung kecil saat akan memasuki lift. Salju yang pertama dia lihat adalah pertanda dia sangat beruntung.

Saat tiba di apartmen, sebelum kartu akses sempat discan, pintu terbuka lebar.

Only You [KM] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang