Ini hanya sebagian rintangan Yang Maha Kuasa berikan pada umatnya. Mungkin dengan ini aku mampu melewati hal yang bagiku sulit, tapi menurut Tuhan aku mampu lewati semuanya. Karena Tuhan tidak akan pernah memberikan cobaan di luar batas kemampuan.
___
"AKHIRNYA UJIAN SELESAI JUGA YA ALLAH!" teriak Satria sambil sujud di tengah lapangan membuat sebagian orang yang tengah lewat menatapnya heran. Terutama Gailan yang memalingkan wajah malu melihat tingkah Satria yang kekanak-kanakan.
Ya memang, ujian sekolah kenaikan kelas telah berakhir. Dan saat ini semua siswa-siswi mulai berkumpul di tengah lapangan untuk mendengar sambutan akhir dari sang kepala sekolah.
"Padahal dari lahir gue gak ada tuh pengen punya sahabat sejenis titisan bocil." Gailan mendengkus. "Punya dosa apa gue punya sahabat kayak Satria yang gak ada akhlak plus muka pas-pasan pula."
Aveer tertawa. "Itu namanya anugerah buat lo. Terbukti kan sekarang hidup lo gak terlalu monoton? Coba Satria gak ada dalam lingkup pertemanan kita, pasti hidup lo lurus-lurus aja kek tiang bendera."
"Iya juga sih." jawabnya. "Tapi gue agak kesel sama tingkah dia yang sekarang. Liat deh, dia kek gak punya malu joget-joget di lapangan gitu, banyak cewek yang liat lagi. Lo cariin gih urat malunya Satria ketinggalan dimana."
"Gak usah dicariin kali." Tiba-tiba Allen dan Azara muncul dari belakang secara bersamaan. "Tuh anak emang dari dulu gak punya urat malu, bahkan sejak lahir."
Melihat Allen di hadapannya, entah mengapa membuat Aveer kembali teringat kejadian kemarin. Disaat ia mendengar Allen mengatakan apa yang seharusnya ia tidak ingin dengar.
Tapi takdir berkata lain, mungkin ini adalah awal kalau memang mereka tak ditakdirkan untuk bersatu. Mencintai tanpa memiliki istilahnya.
"Eh, Gailan," sahut Azara. "Lo disini juga? Udah gak galau ya karena ditinggal Gisell?"
Gisell. Satu kata yang membuat Gailan tanpa sadar terdiam lama. Sebenarnya Gailan tidak mudah untuk melupakan Gisell, perempuan yang telah merebut hati dan cinta pertamanya.
Allen menyenggol lengan Azara. "Lo ngapain nyebut nama Gisell di depan Gailan? Harusnya beberapa waktu dekat ini jangan sebut nama Gisell dulu, takutnya Gailan bakal otomatis keinget semuanya."
"Sorry." Azara merasa bersalah. "Gue gak tau kita masih dalam keadaan berduka. Tapi lo jangan pikirin apa kata gue ya, gue gak bermaksud untuk lo ingat Gisell lagi. Gue cuma mau bilang aja, jangan terlalu berlarut dalam kesedihan. Meskipun gue masih ada rasa kehilangan, seenggaknya gue mau coba hidup tanpa Gisell walaupun itu susah buat gue jalanin."
"It's okay, gak masalah. Lo gak usah merasa bersalah gitu. Gue udah terima semua ini dengan ikhlas. Sulit sih, tapi gue akan coba," ungkap Gailan lalu tersenyum.
Azara mendekati Gailan. "Nah, gitu dong. Kalau gini kan enak, gak ada lagi yang namanya sedih-sedihan. Hari ini kita harus bahagia bareng-bareng."
"Yaudah yuk! Kita langsung ke lapangan aja," ajak Azara. Perempuan itu bersama Gailan menelusuri lapangan dengan bergandengan dan senyum yang menghiasi wajah mereka. Dua orang yang awalnya terlihat sedih, kini mencoba bersikap tegar, melupakan hal yang pernah terjadi sebelumnya.
Allen menoleh ke arah Aveer. Laki-laki itu seakan mengacuhkan keberadaannya disini. Tidak biasanya Aveer bersikap seperti itu. Apa dirinya ada salah?
"Aveer," panggil Allen dengan pelan. "Mau ke lapangan bareng gak?"
"Gak usah."
Aveer berjalan menuju lapangan tanpa mengajak serta Allen. Wajah Allen berubah menjadi sendu, tanpa sadar hatinya sesak mendapati perlakuan Aveer kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
You're Enough [ PROSES REVISI ]
Roman pour Adolescents𝕄𝔸𝕌 ℍ𝔼𝔹𝔸𝕋? 𝕁𝔸ℕ𝔾𝔸ℕ 𝕁𝔸𝔻𝕀 ℙ𝕃𝔸𝔾𝕀𝔸𝕋! JUDUL AWAL : MY HEART "𝐊𝐢𝐭𝐚 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐬𝐞𝐩𝐚𝐬𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐚𝐧𝐮𝐬𝐢𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐭𝐚𝐤𝐝𝐢𝐫𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐦𝐞𝐧𝐝𝐚𝐦 𝐥𝐮𝐤𝐚 𝐧𝐚𝐦𝐮𝐧 𝐛𝐞𝐫𝐡𝐚𝐫𝐚𝐩 𝐢𝐧𝐠𝐢𝐧 𝐛𝐚𝐡𝐚𝐠𝐢𝐚." Allen...