Aku mengambil chip kamera dibawah botolku dan memasukannya pada laptop. Layar laptop menampilkan sebuah kamar apartement yang terlihat rapi seperti baru dibersihkan oleh pemilik kamar.
Video diputar oleh Jeno dan melihatkan semua sudut kamar. Jeno yang berada disampingku mengganti kecepatan video menjadi lambat.
Sebelum laki-laki itu tepat mengambil air dalam dispenser, kaki kanannya meminggirkan sebuah barang yang dibungkus terpal berwarna silver yang disembunyikan tepat dibawah sofa. Memastikan barang itu masuk semua tidak memunculkan sedikit pun cela. Kejadian itu terekam setelah video diperlambat.
Lalu laki-laki itu melanjutkan mengambil air dan berjalan kembali menuju arahku. Aku mengambil tangkapan gambar pada video tepat ketika laki-laki itu meminggirkan sebuah barang berlapis terpal. Lalu Jeno membuka laptop miliknya juga. Laptop Jeno menampilkan jelas bagaimana keadaan kamar itu sekarang, karena Jeno sempat menaruh kamera pengintai disana setelah kami kembali ke apartement.
Laki-laki itu sibuk mondar-mandir di depan televisi dan memunggungi sofa di belakangnya. Mulutnya komat-kamit sedang menggumamkan kata.
"Sungai? Jangan disana, terlalu bahaya, dimana yah, tidak mungkin aku bakar" Suara laki-laki itu terdengar di telinga kami berdua dari arah layar komputer.
Bahkan pizza yang sempat dibeli tadi oleh Jeno belum tersentuh sama sekali karena tugas ini yang tiba-tiba datang. Seharusnya bukan kita yang mengerjakan ada tim lain yang bisa mengambil kasus ini. Tetapi kasus pertama kali ditemukan oleh kami, terlalu resiko jika dipindah tangan nanti.
Aku dan Jeno masih mengamati ruangan itu. Laki-laki tersebut keluar dari pintu membawa sebuah koper dengan pakaian rapi yang tadi sempat dia ganti. Tangannya memegang sebuah tiket dan pasport. Sudah pasti dia akan pergi ke bandara. Tidak bisa dipastikan jika ada pembunuhan sebelum mayatnya ditemukan.
Kamera pengintai yang sengaja Jeno jatuhkan saat mencoba melewati kamar itu mulai merambat ke atas, memperlihatkan keadaan dapur dan ruangan yang lebih luas.
Tetesan air terlihat dari pisau nomer dua di tempat pisau yang sepertinya baru dicuci. Tetapi terdapat potongan daging sapi juga di sebuah piring menandakan pisau itu baru saja dipakai.
"Itu daging sapi, pisaunya dicuci habis buat potong daging" Jeno berkata padaku.
Suara pintu dibuka terdengar, terbukti jika laki-laki itu sudah keluar dari kamar. Kamera cctv dan beberapa kamera sudah Jeno pasang di sudut-sudut koridor. Layar laptop Jeno tidak hanya menampilkan ruangan milik laki-laki itu tetapi juga keadaan koridor.
Laki-laki itu membungkuk di koridor, menghapus setitik bercak darah yang ternyata masih terlihat.
Langkah kakinya mengarah menuju tangga darurat. Hal ini sudah diantisipasi oleh tim-ku. Mereka tetap memasang kamera pengintai di tangga darurat. Lalu layar laptop Jeno menampilkan laki-laki tersebut yang berjalan tenang menenteng koper.
Aku langsung mengganti bajuku dengan baju yang biasa aku pakai saat bertugas dan bergantian menatap layar kotak itu.
"Sofa tv emang target yang paling utama. Terus dapur jadi tempat kedua, tapi ga semudah itu kan pelaku ngasih clue. So simple for us Ji" Jeno berkata padaku sambil memasang revolver tepat di samping celana miliknya.
"Kenapa ga ada tetesan darah sama sekali selain yang ngalir dari pintu?? Pasti udah dibersihin dong. You know what I mean right?" Aku menimpali Jeno. Kita sama-sama punya prasangka yang beda tapi prasangka kita menuju satu hal yang sama.
"Sinar ultra udah aku nyalain di kamar itu, aku hubungin ke laptop kamu" Jeno menunjuk laptop milikku, langsung ku buka file yang terhubung dan membuka rekaman kamar.
Kamera ultra yang terletak tepat di dinding dapur itu menunjukkan bagaimana kondisi warna ruangan yang biasa. Tidak ada perbedaan, tetapi ketika kamera itu memutar pada arah pintu, warna yang aneh dan sebuah bentuk yang lebar tercetak disana. Sebuah bentuk dari hasil darah yang telah dibersihkan.
Langkahku keluar dari apartement bersama Jeno, dengan kami yang sama-sama fokus pada laptop. Earphone di telingaku bersuara jika tim-ku menginfokan laki-laki itu sedang berkendara meninggalkan gedung apartement ini.
"Johnny Suh, 9 Februari 1999. Pria kebangsaan USA datang ke Indonesia untuk pendidikan. Tinggal di apartement ini sekitar satu minggu yang lalu" Aku bergumam ketika membaca profil dari laki-laki itu yang dikirimkan oleh tim-ku.
Tanganku membuka knop pintu dengan pelan, setelah tim-ku memberi kunci cadangan yang di dapatkan dari pihak apartement. Aku menaruh laptop-ku di dapur kamar dan mulai menyalakan sinar ultraviolet. Sedangkan Jeno berjalan di depanku meneliti barang-barang disana.
"Kemungkinan dia pergi ke Chicago, kalau data yang dihasilin nampilin gini" Jeno bergumam sambil matanya fokus meneliti barang-barang disana.
"Bisa jadi, tapi ada beberapa negara yang bisa dia kunjungin. Bukannya USA ngelarang orang yang belum selesai pendidikan bisa balik ke negaranya." Aku membantah dugaan Jeno tentang Johnny—laki-laki tersebut
Tanganku terulur memasang sebuah cahaya ultraviolet di ujung ruangan. Lalu Jeno mematikan seluruh lampu ruangan. Keheningan meliputi kita. Aku berdiam diri sebentar, begitu pula dengan Jeno. Laptop sudah kami matikan dan kamera itu terhubung oleh laptop tim-ku. Suara helaan nafas saja yang terdengar di telinga kita.
Saat kakiku melangkah maju untuk menyalakan cahaya ultraviolet, suara erangan yang sangat lirih terdengar di telingaku. Tubuhku terdiam, seseorang ada disini.
Tangan Jeno menunjuk tepat dibelakangku, aku menolehkan kepalaku 180°. Terdapat sebuah peredam suara yang sengaja dipasang. Menandakan percakapan di dalam tidak mungkin terdengar. Pantas suara tangis tidak ada yang terdengar.
Sinar ultraviolet ku nyalakan dan mataku terhenti dipojok pintu kamar saat menjelajahi suara rintihan itu. Sebuah telapak tangan tergeletak dengan simbahan darah dan rintihan kecil yang masih terdengar.
Jeno berjalan pelan didepanku. Membuka belakang pintu kamar dan terdapat seorang wanita dengan keadaan sudah tidak bisa ditolerir.
"Kak, bisa dengar suaraku?" Aku bertanya padaku dengan pelan, kepalanya mengangguk menjawabku.
"Tetep sadar yah kak, kakak ga bakal kenapa-kenapa" Aku berupaya membuat wanita itu tetap sadar.
Aku melihat dirinya bergumam. Seperti mengatakan sesuatu. Jeno berbisik ditelingaku "Johnny, dia sebut nama itu. Aku tetap disini kamu ikut dia, lacak orang itu".
Aku mengangguk setelah mendapat perintah Jeno saat ini. Aku langsung menggendong wanita itu dan meletakkan di tandu yang sudah tim-ku siapkan.
"Langsung tekan intercom kalau ada apa-apa, jangan gugur Jen" Aku berucap padanya sambil berjalan menjauh ruangan itu. Sesak didadaku kembali lagi, rasanya selalu sama jika sedang mengerjakan tugas kami. Berdebar dan dekat dengan kematian.
***
Halooo kamu?? How was ur day? Everything good? If u have bad day u can chat me for tell all ur worried.Maaf kalau semisal ada yang bingung, komen aja nanti aku jawab yah. Makasih juga udah sampe part ini. Semoga nyaman sampe ending. Happy Ending always in my story.
Be happy today, u deserve to be happy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Electric Hearts
Fanfiction"𝐁𝐚𝐥𝐚𝐬 𝐝𝐞𝐧𝐝𝐚𝐦 𝐢𝐭𝐮 𝐛𝐞𝐧𝐚𝐫-𝐛𝐞𝐧𝐚𝐫 𝐭𝐞𝐫𝐣𝐚𝐝𝐢, 𝐛𝐚𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐫𝐞𝐥𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩𝐧𝐲𝐚" 𝒥𝑒𝓃𝑜 𝒜𝓂𝒷𝓇𝑜𝓈𝒾𝓊𝓈 𝓍 𝒴𝑒𝒿𝒾𝓃𝒶 𝐵𝑒𝓃𝓃𝑒𝓉 2021 @skyofclub Completed.