Pagi ini sinar matahari terlihat dari jendela rumah sakit pusat kota. Tubuh laki-laki terbaring disana dengan pakaian pasien yang khas. Tubuhnya penuh luka, bekas peluru ada dimana-mana. Lebam ungu yang muncul hampir di semua bagian tubuhnya.
Kamar itu sunyi hanya terdengar suara elektrokardiogram yang nyaring menandakan tubuh penuh luka itu masih bernafas. Tidak ada yang menemani tubuh itu yang sedang berjuang mengembalikan kesadarannya. Mata laki-laki itu masih tertutup bahkan di hari ke-7 setelah dinyatakan koma. Banyak cerita yang terlewat dari laki-laki tersebut
Suara gorden yang disibak seorang wanita terdengar di kesunyian kamar ICU ini. Langkah kakinya berderap menghampiri laki-laki yang terbaring tidak sadarkan diri.
"One week you not here. Aku bawa kabar buruk Jen, maaf membebanimu. Kita pisah di tugas yang akan datang. Pimpinan sudah tidak percaya denganmu, maaf karena tidak membelamu."
Tangan Yeji mengusap lembut surai coklat tua milik laki-laki yang terbaring. Matanya memerah dan siap mengeluarkan genangan kecil. Kasusnya memang dihentikan, bahkan Seo Johnny-seseorang yang harusnya masuk penjara, tetapi tetap dibiarkan bebas terpantau mengawasi keberadaan Yeji sebagai agent negara.
Yeji hanya memiliki dirinya sendiri jika berhadapan dengan Johnny. Jeno masih terbaring tidak sadar diri dan pimpinan sudah tidak percaya tim Ar.L bekerja di lapangan. Sang leader yang belum bangun dari tidur panjangnya dan Yeji sebagai golden ace sedang menjadi incaran seseorang.
Pimpinan menyerahkan keputusan pada Yeji untuk tetap tinggal menjadi agent negara dan tidak pernah satu tim bersama Jeno atau menjadi tim agent negara lain tetapi kemungkinan bisa satu tim lagi dengan Jeno di masa yang akan datang.
Yeji meletakkan kepalanya tepat disamping tangan Jeno yang terbaring lemah. Air matanya terus meleleh, dirinya kembali berpisah dengan seseorang di hadapannya ini. Yeji hanya ingin kisahnya dengan Jeno tidak akan serumit ini tapi ternyata takdir tidak se-sederhana yang Yeji kira.
Waktu terus berlalu hingga tak sadar 3 jam sudah Yeji tertidur menyender tepat di tangan Jeno. Air mata yang tadi sudah kering tiba-tiba mengalir kembali, mimpi Yeji sedang menyedihkan. Sesenggukan terdengar bersautan dengan suara elektrokardiogram.
"Hah!" Mata Yeji membuka dengan cepat, seolah-olah baru saja sadar dari kejadian yang menajubkan.
"Jen, kenapa harus lewat mimpi ngomongnya?? Kamu masih ga mau ketemu aku?" Suara Yeji dengan isak tangis kecil berdengung di ruangan kecil ini.
"Kalau mau tau, aku ga pernah bisa move on dari kamu. Kejadian dulu cuman bikin keadaan kita berubah tapi ga termasuk sama perasaanku Jen. Aku masih disini, dan dengan rasa yang sama. Tapi apa aku harus ngerelain kamu lagi buat kepentingan orang lain? Aku cuman pengin egois sekali Jen. Maaf kalau buat kamu kecewa." Tangannya menangkup tangan besar milik Jeno dan diciumnya dalam. Hatinya lelah, fisiknya lelah.
"Maaf untuk rencana kita yang gagal. Maaf juga buat semua barang-barang yang kamu dapet belum kamu jadiin bukti. Maaf buat ngelolosin biadab kaya Johnny. Aku titipin kamu sama anak Elder. Kamu aman sama mereka. Kalau nanti kamu sadar dan aku ga ada, lupain aku. Ayo kita ketemu lagi dengan karakter yang baru." Yeji melanjutkan katanya meskipun tidak ada balasan dari seseorang dihadapannya.
Yeji perlahan melepas tangan Jeno dan mulai bangkit, mencium kening laki-laki yang masih menjadi prioritasnya. Air matanya menetes banyak hari ini dan berjejak di kening Jeno. Langkahnya berat meninggalkan ruangan ini. Tepat ketika suara pintu tertutup, tangan Jeno yang semula diam bergerak perlahan, matanya membuka dengan pelan.
"Yeji, don't leave me" Suara kecil dari mulut Jeno keluar. Tangis kecil Jeno menjadi saksi bisu bahwa mereka tidak pernah direstui oleh semesta.
***
Pagi yang cerah ketika Yeji menginjakkan kakinya di negara bekas jajahan Nazi. Udara yang sejuk musim gugur membawa Yeji pada kenangannya di negri sana. Batinnya bertanya 'Jeno sudah bangun? Atau masih melanjutkan istirahatnya?"."Lewat sini Ms. Bennet"
Suara Liam yang menyuruhnya untuk masuk ke dalam bangunan membubarkan lamunan Yeji. Bangunan khas zaman dulu yang akan menjadi tempat tinggal Yeji selama di Jerman. Suasana disini yang damai dan bangunan dengan desain klasik eropa di depannya ini menimbulkan perasaan senang di hatinya. Suasana yang selalu Yeji impikan saat masih tinggal di kota dengan polusi dan panas yang hebat.
Langkahnya pasti mengikuti Liam untuk berkeliling bangunan tua ini. Bisa disebut bangunan ini adalah apartement dengan biaya sewa yang normal. Tidak mengubah gaya arsitektur tetapi merevisinya menjadi hunian modern.
Orang Jerman dengan segudang kecerdasannya.
Langkahnya terhenti ketika Liam menunjukkan kamar miliknya. Apartement ini memang diisi dengan agent-agent dan mata-mata negara. Dan dengan hebatnya Yeji bisa menjadi bagian agent negara ini.
"Ini kamar anda. Untuk keperluan lain anda bisa menuju resepsionis. Ada yang ingin ditanyakan?"
"Em......Apa aku tinggal sendiri? Maksudku sekamar hanya diriku?" Yeji bertanya.
"Betul Ms. Bennet anda akan tinggal sendiri. Untuk tim yang lain ada di ruang lain" Liam menjawabnya sambil tersenyum ramah dan Yeji tau Liam bukan orang sembarangan disini.
Liam pamit untuk undur diri dan membiarkan Yeji menikmati waktu istirahatnya sebelum besok kembali bekerja. Hembusan nafas lelah terdengar ketika Yeji menelungkupkan badannya pada kasur queen size. Rasa nyaman terasa dan membawanya menuju alam mimpi. Dirinya sangat lelah dan untuk saat ini biarkan dia istirahat.
Suara telfon nyaring membangunkan Yeji yang terbangun dari tidur paginya. Tangannya bergerak mencari handphone tanpa mau membuka mata.
"Halo, ada apa?" Suara serak Yeji khas orang baru bangun terdengar.
"Halo. Ga papa, cuman mau ngehubungin kamu aja" Suara diseberang sana membuat Yeji langsung terbangun dari tidurnya. Benar-benar terbangun dengan mata lebar.
"Kok dapet nomer gue?" Tanya Yeji pada penelfon.
"Aku minta sama anak Elder. Aku ga mau pura-pura ga kenal kamu lagi Ji."
"Lo denger kemarin gue ngomong? Usahain gih, soalnya semesta ga pernah nyetujuin kita." Balasan dingin dari Yeji membuat penelfon di sana menghela nafas berat.
"Aku mau egois untuk bisa kenal kamu Ji, tapi kalau kita sama-sama egois ujungnya kaya dulu lagi kan. Aku relain kamu kalau kamu mau ga kenal aku lagi. Maaf juga pernah nyakitin selama ini. Ayo ketemu lagi dengan karakter yang beda" Suara penelfon disana diakhiri dengan isak tangis kecil dan langsung terputus. Katakan jika sang penelfon adalah manusia lemah. Tapi untuk pura-pura menjadi orang lain dihadapan orang yang dicintai perlu hati yang kuat. Dan sang penelfon tidak sekuat itu.
Keadaan tidak jauh beda dengan Yeji yang matanya sudah berair. Tangisnya kembali, dalam dan terdengar menyakitkan. Tekanan kerjaan dan cinta dalam satu waktu hampir membuat Yeji gila. Tangan Yeji mengambil obat di koper miliknya. Meminumnya dan kembali duduk, tatapannya kosong.
Yeji kembali pada dirinya yang lama, termasuk tidak mengenal sang penelfon kembali.
Penelfon itu Jeno Ambrosius.
***
Ga angst ga asik. Ga canda kok. Tapi maaf yah kalau banyak sedihnya. Aku kurang bisa bikin scene mereka ketawa bahagia. Ga tau kenapa. Maaf juga hari ini cuman update satu chapter.I hope ur day is beautiful. No matter who u are, u the best part of ur self. Thank you all.
KAMU SEDANG MEMBACA
Electric Hearts
Fanfiction"𝐁𝐚𝐥𝐚𝐬 𝐝𝐞𝐧𝐝𝐚𝐦 𝐢𝐭𝐮 𝐛𝐞𝐧𝐚𝐫-𝐛𝐞𝐧𝐚𝐫 𝐭𝐞𝐫𝐣𝐚𝐝𝐢, 𝐛𝐚𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐫𝐞𝐥𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩𝐧𝐲𝐚" 𝒥𝑒𝓃𝑜 𝒜𝓂𝒷𝓇𝑜𝓈𝒾𝓊𝓈 𝓍 𝒴𝑒𝒿𝒾𝓃𝒶 𝐵𝑒𝓃𝓃𝑒𝓉 2021 @skyofclub Completed.