12. Ketika menemukan kenyamanan

103 13 0
                                    

Burung itu indah, dia bisa terbang bebas menggunakan sayapnya. Tanpa beban dan tanpa tangisan.
Ketika bertemu dengan burung lainnya, mereka merasa aman dan nyaman. Kebahagiaan yang begitu terpancar.
Tapi, mengapa aku tak bisa bebas seperti burung?
Rasa aman dan nyaman itu seperti telah tiada. Bagaimana kah jika aku akan mati rasa? Apa kau mau peduli?

________


Darel mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Ia hari ini mengantar adiknya dulu ke sekolah. Liovanda bilang, dia buru-buru berangkat karena ada tugas yang belum terselesaikan. Darel sempat menyentil dahi adiknya sebentar, ia kesal karena Liovanda berbohong pada papa dan mamanya. Liovanda tadi bilang ada piket, nyatanya bukan seperti itu.

"Makasih, Kak. Oh iya, jangan bilangin mama sama papa, awas aja kalau sampai bilang-bilang, aku acak-acak kamar Kakak." Darel memutar bola matanya malas mendengar ancaman adiknya itu.

"Bawel, lo. Udah sana masuk! Belajar yang bener, jangan ngedrakor mulu kerjaannya." Liovanda mencebik bibirnya saat baru saja mencium punggung tangan Darel. Lalu dirinya masuk dengan langkah kaki yang cepat.

Seusai mengantar Liovanda, Darel mulai mengendarai motornya kembali menuju sekolah.

Saat sampai ke sekolah, dirinya di sambut oleh para sahabatnya yang baru saja memarkirkan motornya masing-masing. Dengan Rama bersama Maudy, Janu dan Alifa, Ezra dan Ayushita.

"Bareng mulu ya sekarang." Darel berujar seraya menyindir Maudy yang berangkat bersama Rama.

"Ke mana aja lo? Udah beberapa hari ini kita berangkat bareng terus. Makanya jangan fokus terus sama hal gak jelas, lupain tuh yang gak penting." Maudy menjawab ucapan Darel. Ia memang sengaja berbicara seperti itu, supaya Darel sadar saja.

"Iya-iya, salah lagi aja gue." Maudy melirik Rama, juga mereka tersenyum bersama.

Tak lama kemudian, mereka segera  melangkah menuju kelas masing-masing. Karena jika berlama-lama di parkiran juga membuat mereka tak nyaman.

***

Cerelia baru saja memasuki gerbang, matanya yang tadinya fokus ke depan kini teralihkan dengan sepasang siswa dan siswi yang sedang berdebat. Tapi ia hanya tersenyum miring melihat itu. Lalu kakinya mulai melangkah kembali. Ia memilih untuk tidak peduli akan kejadian sepasang tadi, karena itu akan membuang waktunya saja.

"Hai, Cer." Cerelia cukup terkejut, lantaran Maudy, Ayushita, dan Alifa menyambutnya tepat di depan pintu kelasnya.

"Hai, kok kalian di sini?"

"Emang sengaja mau nunggu lo. Oh iya, ini makasih bukunya, kemarin gue mau langsung balikin lo udah pulang duluan." Maudy mengembalikan buku yang ia pinjam pada Cerelia.

"Oh iya, sama-sama. Sorry karena kemarin gue buru-buru juga."

"Emm, Cer. Gimana tawaran gue kemarin?" tanya Asyushita.

Cerelia menghela nafasnya. Ia menatap Ayushita cukup lama. Entah kenapa dirinya mulai menganggukkan kepalanya selama dua kali. Dan itu mampu membuat Ayushita memekik juga meloncat-loncat kecil. Bahkan Ayushita sempat memeluk Cerelia sebentar.

"Ini serius, kan?"

"Iya." Cerelia menjawab dengan mantap. Entah keputusan itu benar atau salah, intinya ada rasa kelegaan tersendiri di dalam hatinya.

Tak lama dari percakapan itu, Maudy, Ayushita, dan Alifa segera menuju kelasnya kembali. Sekembalinya mereka ke kelas, Ayushita tak berhenti berbicara perihal bujukan kemarin juga jawaban Cerelia tadi.

Dari perkataan Ayushita, mampu membuat kedua sahabatnya tersenyum senang. Biar pun mereka suka kesal dengan Darel, tak ayal juga mereka itu peduli dengannya. Karena Darel juga bukan anak yang nakal, dia baik pada mereka. Toh dia hanya bodoh saja perihal cinta. Makanya Ayushita, Maudy, dan Alifa gemas sendiri.

***

"Cerelia."

"Darel, kenapa?" tanya Cerelia heran pada Darel yang memanggil namanya.

"Gue mau ngomong sama lo, tapi gak disini. Bisa ikut gue?"

Cerelia menatap Ayushita, Maudy, dan Alifa bergantian. Kemudian dirinya mengangguk menyetujui.

Mereka berhenti di rooftop. Tempat di mana jarang ada yang singgah, kecuali para pembolos.

Cerelia meraih tembok pembatas. Menatap ke bawah dengan banyaknya siswa/siswi berlalu lalang, lalu matanya teralihkan ke depan dengan atap-atap rumah warga yang terlihat berjejer rapi di sana.

Angin cukup kencang, mampu membuat rambut Cerelia yang terkuncir bergoyang. Bahkan sisa-sisa rambut yang tersisa di depan, menutup matanya yang menyipit.

"Lo mau ngomong apa?" tanya Cerelia.

"Sebenarnya, gak ada hal penting yang mau gue bicarain sama lo. Tapi kalau dipikir-pikir, gue butuh seseorang yang bisa buat gue merasa tenang. Nyatanya, Cer, sejak gue antar lo ke rumah waktu itu gue jadi merasa sedikit tenang. Di satu sisi, ada hal lain yang membuat gue penasaran. Ketika saudara lo keluar dan bicara sama lo, hal itu mam ...."

"Stop untuk berceloteh hal yang gak penting, Rel." Cerelia melepaskan tangannya di pembatas tembok. Lalu tubuhnya berdiri menghadap Darel, yang kini sedang berdiri dengan tangan kanan berada di saku celananya. "Lo gak perlu tahu tentang gue sejauh itu. Lo gak perlu ingin tahu dengan apa yang terjadi saat itu dan setiap harinya. Karena, gak ada yang bisa memahami posisi gue. Gue selalu menjadi orang yang salah, Rel. Jujur ... gue capek."

Nafasnya tercekat, matanya memerah, bahkan kedua tangannya mengepal kuat. Ia ingin menangis dan mengeluarkan segala uneg-unegnya, tapi ia belum siap. Dirinya tak ingin  dikasihani oleh orang lain, terutama Darel.

Darel maju selangkah untuk bisa mendekat ke arah Cerelia. Kemudian tubuh itu ia rengkuh dengan erat. Hatinya bergerak dengan sendirinya untul berlaku seperti itu. Ia merasa jika Cerelia mempunyai masalah berat yang sampai saat ini belum terpecahkan.

Awalnya Cerelia mempertahankan gengsinya dan memilih diam. Tapi  setelah Darel membisikkan sesuatu yang membuatnya luluh, tangan yang tadi mengepal kini mulai mengendur. Tangan itu perlahan naik ke atas dan membalas pelukan Darel.

Dalam hati Cerelia berbicara, ia bersyukur dengan mengenal Darel. Setidaknya dia dapat memahami posisinya. Meskipun belum menceritakan semua kisahnya pada Darel, tapi ia merasa yakin jika Darel adalah orang yang tepat untuk mengetahui siapa dirinya.

Sementara Darel, entah mengapa ada rasa hangat saat memeluk Cerelia. Bibirnya melengkung ke atas dengan lepas. Bahkan dengan mudahnya ia membisikkan sesuatu yang membuat Cerelia menjadi luluh.

Darel belum tahu ini maksudnya apa, bahkan ia dan Cerelia baru saja kenal. Ada sedikit rasa nyaman yang mulai mengalir dalam diri Darel ketika berdekatan dengan Cerelia. Tetapi, mana mungkin juga ia tertarik dengan Cerelia. Itu hal yang aneh.

________


Terima kasih ❤

Heart's Owner (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang