Cerelia baru saja memasuki rumahnya yang kini penuh dengan suara tawa para perempuan.
Ia mengernyit bingung, sepertinya ada tamu yang tak jauh beda umur dengannya?
Saat melangkah semakin dalam, ada empat orang perempuan asing yang sedang mengobrol disertai camilan kering di atas meja.
"Eh, Cer, kamu udah pulang. Oh iya, aku udah beli kuenya loh. Kamu kalau mau, ambil aja di kulkas. Masih ada, kok." Sintya menyambut hangat kedatangan Cerelia yang baru saja pulang dari sekolah.
Karena tadi sempat mampir ke Mall, Cerelia baru sampai rumah ketika pukul 04:30 sore.
Cerelia hanya melirik Sintya sekilas, kemudian melangkah menaiki tangga. Ia menghiraukan ke empat teman Sintya yang saling melirik atas kedatangan dan perilakunya, yang dapat dikatakan buruk.
Menghela nafas ketika sampai di dalam kamar. Ia meletakkan tasnya dan satu paper bag berisi kado ke meja, untuk diberikan pada Ayushita nanti.
Ia mulai merilekskan tubuhnya sebentar di kursi balkon. Menatap langit sore yang menguning. Matahari mulai menyembunyikan wajahnya yang terang. Rasa-rasanya hidup seperti ini sangat lelah. Dirinya hanya ingin kedamaian. Mau sampai kapan hal ini berakhir? Kapan ia bisa dimengerti oleh Mamanya sendiri? Kenapa masalah ini masih belum bisa terpecahkan, yang membuatnya sesak terus setiap harinya?
Cerelia semakin pusing memikirkan hal itu. Ia memutuskan untuk ke kamar mandi, guna membersihkan badannya yang lengket. Mungkin saja setelah ini, pikirannya akan sedikit lebih baik.
***
Sudah pukul 09:30 malam. Kediaman Cerelia sudah sepi akan suara tamu yang datang tadi.
Cerelia sedari tadi mengurung dirinya di kamar tanpa mau tahu apa saja kegiatan teman-temannya Sintya.
"CER, CERELIA."
Sang empu yang kini sedang bersandar di kursi berhadapan dengan laptopnya, hanya menghela nafas lelah. Ia sudah tahu siapa pelaku suara tersebut.
Dirinya memilih diam tanpa mau keluar dari kamar. Karena jika keluar, akan ada hal yang tidak diinginkan terjadi kembali.
Tetapi, baru saja jari-jemarinya mulai menari di papan keyboard, pintu kamar sudah di gedor-gedor dari luar.
"Shit!"
Cerelia memutar kunci dan membuka pintunya dengan gerakan pelan.
Plakk
"Dasar anak pembawa sial!"
Cerelia menatap Mamanya dengan perasaan kecewa. Lagi, dirinya menjadi sasaran.
"Apa lagi?" Kali ini Cerelia bertanya dengan nada yang lirih dan terdengar pasrah.
"Bisa-bisanya kamu bersikap seperti itu dengan Sintya. Dia itu minta tolong sama kamu, tadi Mama lihat bukti transaksi pembelian kue. Kenapa kamu seperti itu Cerelia, Hah?"
Cerelia memilih bungkam, seolah enggan menjawab.
Plakk
Tamparan ke dua kembali mendarat di pipi Cerelia. Citra menatap bengis anaknya itu. Entah kenapa seperti ada kilatan api yang terpancar di matanya.
"PEMBAWA SIAL, GAK TAHU DIRI, DASAR BEGO!"
Prangg
Srrettt
"Ma," panggil Cerelia lirih.
Darah segar mengalir dari kulit Cerelia.
"Belum puas kamu mengambil kasih sayang Sintya dari Papa, hah? Sintya selalu mengeluh tentang hal ini. Tapi kenapa kamu seolah menutup mata dan telinga, bahwa kakakmu juga butuh perhatian itu." Nafas yang memburu menerpa kulit wajah Cerelia yang kini dicengkram keras oleh Citra.
Beberapa detik Citra menatap Cerelia, kemudian cengkramannya itu langsung ia lepas.
"Ma, kalau Cerelia ada salah, entah di masa lampau atau di masa sekarang ... Cerelia minta maaf. Tapi Cerelia hanya ingin tahu, apa sebenarnya kesalahan itu? Karena Cerelia yakin, bukan hanya soal Sintya yang butuh perhatian papa aja, tapi ada hal lain yang Mama sembunyikan dari Cerelia. Iya, kan? Ma, jujur ... Cerelia cape."
Citra tak peduli dengan perkataan anak keduanya itu. Ia lebih memilih meninggalkan Cerelia yang terbujur sakit di lantai, dekat sisi ranjang.
Suara debuman pintu tertutup membuat Cerelia menatap pintu itu cukup lama. Sampai akhirnya ia menangis dalam diam.
Rasa sakit yang ada pada tangannya tak seberapa, dibandingkan rasa sakit yang ada di hatinya.
***
Darel sedari tadi tak kuasa menahan rasa gundah. Ponsel yang ia pegang, belum juga menandakan ada balasan dari pesan yang ia kirim.
Hatinya merasa tidak enak, seperti ada hal yang terjadi di luar nalarnya. Yang jadi masalahnya, apa itu benar? Atau hanya dugaannya saja?
Semenjak hari di mana ia bertemu dengan salah satu keluarganya, ia memandang curiga. Tetapi ia tidak pernah tahu hal itu, karena dia seolah tak ingin ada orang lain yang tahu masalahnya. Terlebih memang dirinya dan dia baru saja dekat.
Darel tak henti-hentinya menghubungi, bahkan kini dalam bentuk panggilan. Berkali-kali tak ada jawaban apapun. Apa mungkin sudah tidur? Tapi mana mungkin tidak terusik sama sekali dengan suara ponsel yang menyala.
"Arrghh, gue kenapa, sih? Kenapa gue ngerasa sangat khawatir banget sama dia. Sebenarnya ada apa? Apa yang terjadi?" Darel mengacak rambutnya asal, hingga akhirnya ia pasrah dan memutuskan untuk tidur meskipun itu susah.
Biar esok saja ia menanyakan langsung padanya. Ia juga akan menjeputnya untuk menuju sekolah bersama.
________
Terima kasih ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart's Owner (End)
Ficção Adolescente"Entah sudah berapa kali aku di bodohi, tapi tetap saja masih bertahan." ______ Darel Arfanda Migler. Hidup dengan penuh kebahagiaan, di mulai dari keluarga, sahabat, bahkan kekasihnya. Siapa yang tidak tahu Darel? Dia berpacaran dengan cewek popul...