Daun pintu yang sejak tadi tertutup rapat, kini terbuka dengan lebar. Cerelia yang baru saja keluar dari kamar mandi, mengernyitkan dahinya kala Sintya berada di ambang pintu dengan tangan kanan yang menenteng paper bag.
"Ngapain?" tanya Cerelia dengan wajah yang datar.
"Aku mau kasih ini ke kamu, Cer. Jujur, aku bingung harus berada dipihak mana. Antara perkataan Mamah atau kah perkataan kamu yang memang tak bisa di sangkal. Kalau aku memang iri sama kamu. Aku yang selalu menghindar kala papa ingin berbicara sama aku. Tapi aku juga gak bisa menyalahkan mama atas hadirnya kamu."
"Stop! Intinya lo dan mama gak pernah ingin gue ada dan hadir di keluarga ini, kan?"
"T-- tapi, Cer, aku ...."
"Mau alasan apa lagi? Lo ada dipihak mama, gue tahu itu. Jadi lebih baik lo gak perlu tahu apapun urusan gue. Karena gue bertahan di sini itu bukan karena kalian berdua, tapi karena papa."
"Cer, kok kamu bilangnya gitu? Selama ini mama juga berusaha merawat kamu sejak bayi sampai sekarang, kamu gak tahu terima kasih namanya."
"Gue bukan gak tahu terima kasih, Kak. Cuma gue cukup tahu diri dan gue terlalu tersiksa dengan apa yang mama perbuat sama gue selama ini. Raga gue mungkin terlihat baik-baik aja, tapi enggak dengan hati gue. Mental gue udah mulai agak terganggu dengan segala penyiksaan mama. Salah kalau gue merasakan sakit dan kekecewaan yang mendalam? Kaya gitu gue masih salah, Kak, masih salah?"
Sintya hanya bergeming di tempat. Kepalanya menunduk, mencerna dengan baik semua perkataan yang keluar dari mulut Cerelia.
"Lebih baik lo ke kamar, istirahat. Gak usah peduliin gue lagi. Mungkin untuk sekarang dan seterusnya, gue bukan apa-apa bagi kalian. Gue akan berusaha cari cara, supaya gue bisa keluar dari rumah ini. Karena gue ngerasa jadi beban di keluarga ini." Seusai pembicaraan tersebut, Sintya segera berlalu ke kamarnya. Dan Cerelia menatapnya hingga pintu Sintya tertutup rapat. Baru setelahnya Cerelia masuk ke kamar dengan pintu yang di kunci.
Paper bag yang di bawa Sintya, tergeletak begitu saja di lantai dekat pintu Cerelia. Bukan di luar, tapi di dalam. Cerelia hanya menatapnya sekilas, setelah itu ia memindahkannya ke meja belajar. Ia tak ingin membukanya, biar saja seperti itu posisinya.
Jujur, saat ini Cerelia ingin Bram hadir. Ia sangat rindu dengan pelukan hangatnya. Entah mengapa, Cerelia begitu tersiksa di rumah ini. Rasanya ingin pergi, tapi dirinya masih melihat sosok Bram yang amat sangat ia sayangi. Jika pergi, maka amat berat. Bram adalah sosok Ayah yang sangat ia kagumi. Dari segi fisik maupun perilaku terhadap anak-anaknya. Tak pernah sekali pun ia mendengar Bram membentak dirinya atau Sintya. Bram itu cinta pertamanya. Maka jika ia meninggalkan Bram, bagaimana nanti kehidupannya. Semuanya terlalu bergantung dengan Bram.
***
Darel menuruni anak tangga dengan cepat. Pagi ini ada ulangan, waktu menunjukkan pukul 06:40. Maka waktu yang tersisa sekitar dua puluh menit untuk mencapai ke sekolah.
Dirinya menyesal, karena semalam mabar (main bareng) game online bersama Rama dan Janu. Ezra awalnya bergabung, tetapi ia memutuskan untuk keluar lantaran sudah mengantuk. Sementara ke tiga manusia yang lain, tetap berada di hadapan layar ponsel mereka hingga lupa waktu. Bahwa mereka esok akan pergi ke sekolah kembali seperti biasa.
"Pasti abis nge-game semalam, makanya telat bangun." Kinanti berujar seraya membereskan wadah kotor bekas Liovanda dan suaminya, ke wastafel.
"Iya ni, Ma." Darel menjawab dengan sambil meminum susu yang sudah tersedia di meja.
"Kamu gak mau sarapan dulu?" tanya Kinanti melihat Darel yang kini sedang memakai sepatunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart's Owner (End)
Teen Fiction"Entah sudah berapa kali aku di bodohi, tapi tetap saja masih bertahan." ______ Darel Arfanda Migler. Hidup dengan penuh kebahagiaan, di mulai dari keluarga, sahabat, bahkan kekasihnya. Siapa yang tidak tahu Darel? Dia berpacaran dengan cewek popul...