31. Pergi

105 9 1
                                        

Darel mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Saat ini dirinya bersama dengan Cerelia menuju kediaman Bram.

Cerelia memberikan kepastian saat istirahat tadi di kantin. Bukan hanya mereka berdua saja, tetapi bersama para sahabatnya. Karena sahabatnya pun mendesak untuk menceritakan semuanya. Maka dari itu, sekarang lah waktu pindahan Cerelia menuju Apartemen.

Seusai kejadian semalam. Cerelia terbangun pada pukul dua dini hari. Ia melangkah menuruni tangga guna mengambil air mineral. Saat sampai di dapur, dirinya menemukan Bram yang sedang memakan mie instan sendirian.

Karena dirasa di jam segitu waktu yang tepat untuk Cerelia berbicara. Maka yang ia lakukan ialah berdiskusi bersama Bram tentang hal yang mengganjal sejak kejadian semalam.

Cerelia memutuskan hal yang tepat. Agar tak ada masalah baru lagi setelah itu. Karena semalam Citra sudah bilang kalau dirinya tak pergi, maka Citra yang akan pergi dengan membawa Sintya. Jelas saja itu mampu membuat Bram jadi dilema. Karena Bram tak ada niatan untuk meninggalkan atau menelantarkan Citra dan Sintya. Bram ingin mempertahankan keduanya, bahkan kalau bisa Cerelia juga. Namun sayang, Cerelia tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Keputusan itu sudah final.

Seusai percakapan yang cukup menguras otak, Bram akhirnya menyetujui dengan Cerelia yang pergi dari kediamannya. Rela, tak rela, ya memang harus rela. Ada saatnya Cerelia berhenti untuk semua itu. Berhenti untuk menyusahkan Bram dan keluarga.

Meskipun nantinya ia akan menyusahkan keluarga baru. Tetapi, itu lebih baik. Karena keluarga dari Darel, amat sangat menyambutnya dengan tangan terbuka. Sampai kapan pun itu. Bahkan Kinanti menganggap Cerelia seperti anaknya sendiri. Pertemuan mereka bisa dibilang singkat, tapi mampu membuat Kinanti nyaman dan ada rasa bahagia ketika bersama Cerelia. Begitu pun sebaliknya, Cerelia merasakan kasih sayang seorang Ibu yang sesungguhnya.

***

Cerelia menatap kamarnya yang banyak kenangan di dalamnya. Pakaian serta barang-barang lainnya sudah ia kemas sebagian. Untuk sekarang, hanya tinggal perintilan-perintilan kecil yang belum masuk box saja.

Darel sejak tadi membantu Cerelia membawa barang-barangnya ke bawah menuju mobil, dibantu oleh Pak Darma juga.

Bram tadi masih berada di kantor. Sebentar lagi dia akan menuju rumah. Ingin melihat Cerelia pamit dari kediamannya. Bram sampai ngebut dalam melakukan pekerjaannya di kantor. Sudah berapa berkas yang ia kerjakan dalam waktu singkat. Untung saja memang keahliannya dalam hal tersebut. Maka jangan di ragukan lagi jika Bram pemimpin yang bagus dan baik di Parusahaannya.

"Banyak kenangan di kamar ini. Bahagia serta kesedihan, bahkan tangisan yang memilukan menggema disetiap sudut kamar ini. Oh iya, serta kecemasan yang berangsur-angsur lama. Lelah juga rasanya kalau memilih untuk terus." Cerelia bermonolog sendiri, seraya melihat setiap sudut kamar yang sudah kosong dengan barang-barang miliknya.

Langkah kaki terdengar memasuki kamar. Cerelia yang masih terpaku dengan posisi duduk di bangku depan meja rias, kini menoleh pada pemilik langkah kaki tersebut.

Tanpa ragu, dirinya langsung berlari dan memeluk pemilik badan tegap itu. Rengkuhannya begitu erat, bahkan cairan bening langsung keluar begitu saja tanpa bisa dicegah.

"Pa, maaf kalau aku memilih pergi. Tapi tenang, Papa itu masih tetap menjadi Papanya aku. Papa yang super baik dan perhatian pada anak-anaknya. Cinta pertama yang bahkan tidak pernah bisa tergantikan oleh siapa pun."

Bram hanya mengulas senyum tanpa mau melepas rangkuhannya bersama Cerelia. Bahkan ia mencium puncuk kepala Cerelia berulang-ulang kali. Hatinya sedikit lebih tenang, karena ia merasa dengan kepergian Cerelia mungkin akan membuat semuanya menjadi lebih baik. Terlebih selama ini Cerelia tersiksa begitu lama. Siapa tahu saja, di luar sana Cerelia bisa lebih bahagia dibandingkan di rumah ini.

Cerelia mencoba melepaskan pelukannya. Ia menatap Bram cukup lama. Tangannya mengayun dan mengusap wajah Bram yang sudah mulai timbul keriput. Kentara sekali, banyak guratan lelah di wajahnya yang sudah tidak muda lagi. Pasti ia akan merindukan sosok di hadapannya ini ketika pergi. Bahkan ia sangat antusias jika menyambut Bram dari luar Kota. Sekarang, hal itu tidak akan terjadi lagi.

"Kamu anak Papa, tetap akan menjadi anak Papa, sampai kapan pun. Papa akan merindukan antusias kamu menyambut Papa. Tapi Papa yakin, dengan kamu pergi dari rumah, kamu akan lebih bahagia di luar sana." Cerelia tersenyum begitu tulus pada Bram. Ada kelegaan dalam hatinya ketika Bram mengungkapkan hal itu.

Cerelia memutuskan untuk keluar bersama Bram. Tapi langkahnya terhenti karena ada Sintya yang berdiri bersama dengan Citra.

"Cer, maaf atas perlakuan aku selama ini sama kamu. Maaf sudah membuat kamu pergi dari rumah ini. Sekarang kamu bebas, gak ada yang di susahin lagi. Karena sebelum kaki aku cidera, bahkan sampai aku cidera, aku banyak menyusahkan kamu. Kamu yang selalu kena imbas ketika suatu hal tak terpenuhi. Maaf, Cer ... maaf sudah menjadi Kakak yang egois selama ini."

Cerelia mengusap kedua pipi Sintya dengan lembut. Kan, ia sudah bilang, ia tidak benci, hanya ada rasa kecewa yang mendalam. Tapi bukan berarti dirinya tega melihat dan mendengar Sintya mengungkapkan itu dengan air mata yang menggenang.

"Mungkin untuk memaafkan secepat itu enggak, ya, Kak. Tapi gue tahu lo sebenernya baik sama gue. Gue tahu lo suka perhatian sama gue. Tapi sayang, justru hal itu tertutup dengan rasa kecewa. Lo tetap akan menjadi Kakak yang berharga buat gue, dan lo satu-satunya Kakak yang gue punya."

Tangis Sintya semakin pecah dengan mendengar penuturan Cerelia, yang jika didengar dan ditelaah kembali ke belakang, itu sangat memilukan. Pasti Cerelia sangat-sangat sakit. Kecewa yang begitu mendalam begitu mendominasi dalam diri Cerelia. Dirinya merasakan perasaan bersalah ketika semuanya sudah terjadi.

Sintya menatap Cerelia tepat di bola matanya. Ia tersenyum melihat adiknya sudah sebesar itu. Yang sejak kecil selalu bermain bersama-sama.

"Can I hug you?" Tanpa menjawab ucapan Sintya, Cerelia langsung merengkuh tubuh Kakaknya ke dalam pelukan. Mereka menyalurkan rasa rindu yang sudah lama tak terjalin. Rindu dengan sebuah kebersamaan.

Seusai memeluk Sintya, Cerelia menatap Citra yang sejak tadi diam dengan menatapnya dengan pandangan muak. Ia tahu Citra masih benci padanya. Tapi mengapa sampai sebegitunya? Apakah dirinya semenjijikan dan semenyusahkan itu? Kenapa pas ia sudah tumbuh menjadi gadis remaja, Citra malah tidak mau menerimanya?

"Mama Citra, tetap akan menjadi Mama aku, meskipun aku masih sangat kecewa dengan Mama. Terima kasih karena sudah mau menyambut aku, ketika keluarga kandung aku tidak mau menyambut dengan tangan terbuka. Aku sangat asing di sana, tapi Mama dengan hati yang baik mau menyalurkan tangan hangat Mama untuk menggendong dan membawa aku ke rumah ini. Aku tahu Mama itu baik. Mungkin aku memang udah saatnya untuk pergi dari sini, karena aku tahu ... aku sangat lah beban buat kalian. Aku pamit, ya, Ma. Tenang, sekarang gak ada lagi anak pembawa sial lagi di rumah ini." Seusai berucap, Cerelia melirik Darel yang sudah menunggu di bawah, dengan posisi berdiri dekat sofa.

Cerelia tersenyum pada Bram, Sintya, dan Citra. Kemudian ia pamit pada mereka, yang di antar oleh Bram dan Sintya. Sementara Citra menuruni tangga untuk menuju kamarnya. Bahkan tak ada perkataan apapun seusai Cerelia mengungkapkan semuanya.

"Baik-baik anak Papa. Tangan Papa masih terbuka untuk menyambut kamu."

"Cer, jaga kesehatan, ya. Aku tahu kamu pasti bisa dan betah tinggal di sana. Aku sekarang mulai harus bisa mandiri, tanpa nyuruh-nyuruh orang lain. Dengan perkataan-perkataan yang kamu lontarkan, aku mulai paham sekarang. Baik-baik di sana adikku yang cantik. Kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk hubungi aku."

Cerelia tersenyum menatap keduanya. Ia juga memeluk mereka sekali lagi, untuk terakhir sebelum benar-benar menghilang masuk ke mobil dan pergi dari rumah.

________


Terima kasih ❤

Heart's Owner (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang