10. Hancur

122 11 1
                                    

Kadang kala, apa yang sudah diusahakan, semua akan berakhir sia-sia.
Hal yang menurutnya benar, semua akan terasa salah.
Namun, bisakah dia sedikit saja mengerti akan perasaannya?

________


Cerelia berlari dari gerbang menuju pintu utama. Membuka pintu itu dengan tak sabaran. Nafasnya tersenggal kala ia sudah memasuki rumah tersebut. Rambut yang sedikit acak-acakan dengan keringat yang mengucur di dahi serta pelipisnya

"Ma, i-- ini kenapa?"

Wanita yang disebut mama itu menatapnya nyalang. Lantas menghampiri Cerelia dan satu tamparan mendarat di pipi mulusnya.

"Ma," lirihnya.

"Apa kamu bilang, KENAPA? Setelah apa yang kamu lakukan pada anakku, KAMU MASIH TANYA KENAPA?"

Raut dingin yang biasanya Cerelia tunjukkan, kini berbeda. Yang ada hanya raut sedih serta rasa kecewa.

"A-- aku gak tahu apa-apa, Mah. Kenapa aku yang disalahin?"

Tanpa aba-aba, rambut Cerelia di jambak dengan kuat serta di hempaskan ke lantai begitu saja.

Cerelia mengepal tangannya kuat saat terjatuh. Air mata masih terus menetes tanpa mau berhenti. Ia menangis bukan karena jatuh, melainkan rasa kecewa yang terus-menerus tiada henti.

"Sintya jatuh dari tangga, dan kakinya terkilir. Sekarang dia ada di kamar. Itu semua karena kamu, Cerelia. KAMU ANAK PEMBAWA SIAL!" Lagi, mamanya menampar Cerelia di pipi kirinya. Bahkan bekas tamparan tadi masih ada, kini di tambah lagi. Seusai itu, mamanya segera melangkahkan kaki menuju kamar Sintya. Anak pertama yang sangat disayanginya.

Cerelia meremas dadanya, ia merasa sesak bukan main. Hal seperti ini saja selalu ia yang disalahkan. Padahal ia tidak tahu apa-apa dan logikanya lagi ia tidak ada hubungannya dengan jatuhnya Sintya dari tangga.

Kemudian Cerelia bangkit dan segera melangkah menaiki tangga, menuju kamarnya. Yang sialnya lagi, bersebelahan dengan kamar kakaknya, Sintya.

***

Sudah pukul 08:00 malam, Cerelia masih belum bisa tidur. Dirinya merasa lapar, karena sedari pulang sekolah belum makan apa-apa lagi.

Ia meraih hoodie jaketnya berwarna putih kebesaran. Dengan memakai short pants, juga tak lupa rambut yang di gelung menyisakan sedikit rambut halus di sana. Meraih dompet dan keluar dari pintu kamar.

"Kamu mau ke mana?" tanya Sintya saat Cerelia baru saja keluar dari kamarnya.

"Mau beli makan. Kalau gue ambil makan di dapur, yang ada gue di marahin, urusannya nanti panjang."

Sintya yang duduk di kursi yang memang tersedia didekat kamar mereka, hanya menghela nafasnya. Ia manatap adiknya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Udah, kan, ngomongnya? Karena gue males berurusan sama lo." Tanpa menatap kakaknya, Cerelia segera menuruni tangga dan keluar dari pintu utama.

"Eh, Neng Lia. Mau ke mana?" Pak satpam yang ada di kediaman Cerelia menyapa dengan ramah.

"Aku mau beli makan, Bapak sudah makan?"

Pak satpam bernama Damar itu tersenyum dan mengangguk. Lalu ia berkata, "Saya sudah makan, Neng Lia. Kalau gitu mau Bapak antar beli makannya?" Cerelia yang ditawarkan seperti itu langsung menolak. Ia hanya ingin membeli makan sebentar, juga jaraknya yang terbilang dekat dari kawasan rumahnya.

Cerelia berjalan dengan tatapan dingin. Jika di luar ia memang akan seperti itu, ia tak ingin orang lain melihat wajah lesu dan sendunya.

"Mas, sate ayamnya pesan sebungkus, ya."

Heart's Owner (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang