Suara ketukan pintu kamar sejak tadi menggema di rumah milik Bram. Sang empu pemilik kamar sejak tadi tak membukakan pintunya. Pun di buka dari luar sama saja tak bisa, lantaran terkunci.
Kepala keluarga yang sejak tadi memantau sangat gerah dengan suara tersebut. Kini dirinya langsung melangkah menaiki tangga guna menghentikan ketukan tersebut.
"Sudah, cukup! Mungkin sedang di kamar mandi. Bisa, kan, nanti aja diketuknya?"
"Anak kurang ajar!"
"Citra. Siapa yang kamu sebut anak kurang ajar?"
"Si pemilik kamar ini, lah. Mas, ingat ya, aku masih gak terima dengan kehadiran dia. Udah cukup dia hanya jadi parasit di keluarga kita. Sangat menyusahkan!"
Bram memejamkan matanya guna menahan emosi. Ia tidak ingin kembali membentak istrinya.
"Please, sayang ... jangan begini. Kalau bukan kita, siapa lagi? Siapa yang nanggung kehidupannya. Dari tempat tinggal dan semua keperluannya."
Citra menatap Bram cukup dalam. Jujur saja ia sakit saat Bram lebih memilih Cerelia dibandingkan dengannya atau Sintya. Karena ia berpikir jika Cerelia hanya lah orang asing, bukan keluarga yang sesungguhnya.
"Kamu masih bisa menanggung semua keperluannya, Mas. Tapi, dengan dia tidak lagi menginjakkan kaki di rumah ini. Bisa, kan?"
"Sayang ...."
"Keputusan ada di tangan kamu. Kalau memang kamu milih Cerelia tetap tinggal di sini, biar aku yang pergi dengan membawa Sintya."
"Kok jadi tambah runyam gini, si? Kenapa kamu malah seperti ini coba? Pilihan ini sulit buat aku."
"Hanya itu pilihannya. Aku tunggu kepastiannya, Mas." Seusai mengucapkan itu Citra turun dan memasuki kamar, lalu menguncinya. Meninggalkan Bram yang masih bergeming dengan pikiran kacaunya.
Beberapa menit kemudian Bram pergi dari tempat tersebut menuju ruang kerjanya yang ada di lantai bawah. Ia ingin menjernihkan pikirannya sebentar. Sambil berpikir, hal mana yang baik untuk keluargnya nanti.
***
Sudah dua puluh menit, Cerelia menatap ranjangnya dengan kosong. Tubuhnya bersandar di daun pintu dengan posisi duduk.
Sejak tadi bahkan ia mendengar percakapan kedua orang tuanya. Hatinya bimbang untuk meninggalkan rumah ini, juga Papanya--- Bram.
Tapi jika dengan dirinya pergi dapat membuat Citra dan Sintya bahagia. Maka ia akan lakukan. Ia tidak ingin menjadi parasit di keluarga ini. Ia juga tidak mau terus-menerus menjadi beban di keluarga Bram.
Selama ini hidupnya sudah terlalu banyak menyusahkan. Maka saatnya ia membuktikan pada Citra dan Sintya, juga Bram ... kalau dirinya tidak akan menjadi parasit kembali di keluarga ini. Dan itu berarti, tidak lama lagi ia akan pergi dari rumah yang sudah belasan tahun ia tinggali.
Dering ponsel menyala, menandakan panggilan masuk. Hal itu mampu menyita atensi Cerelia yang sejak tadi duduk diam di pintu.
Cerelia berjalan menuju ranjang, guna mengambil ponselnya yang masih berdering.
"Halo."
"Halo juga tuan puteri. Ganggu gak ni?"
Cerelia terkekeh mendengar ucapan dari seberang sana.
"Enggak, kok. Ada apa?"
"Tadinya mau ngajak jalan. Tapi kayanya enggak bisa, deh. Bisa di amuk sama om Bram ngajak anaknya jalan jam segini. Ehehehe."
"Tuh tahu jawabannya apa. Jadi, jangan sok-sokan mau ajak jalan anak orang."
Percakapan tak hanya sampai di situ. Banyak hal yang mereka bahas. Dari yang aneh, lucu, bahkan sampai ke hal yang serius.
"Gimana? Semua keputusan, ya ada di tangan lo. Tapi semuanya udah disiapin sama bokap gue, Cer. Bahkan nyokap gue ingin kalau lo bahagia. Bahagia yang sesungguhnya. Begitu pun dengan gue. Gue gak mau lo tersiksa terlalu lama di sana. Gue gak ingin ada beban lagi yang lo pikul sendirian, Cer. Gue terlalu khawatir dengan hal itu."
Cairan bening itu keluar dari pelupuk mata Cerelia dengan deras. Bahkan bantal yang sejak tadi ia pegang, ikut terkena basahnya. Isakan itu keluar dan terdengar ke telinga sang penelepon di seberang sana.
"Rel, makasih. Lo ... baik banget sama gue."
Ya, si penelepon yang tidak lain dan tidak bukan itu Darel. Mereka saling bercerita hal random, sampai di mana Cerelia membuka suara tentang kegelisahannya akhir-akhir ini. Dan itu mampu membuat Darel langsung berniat membawa Cerelia pergi. Bahkan Darel menjelaskan tentang Apartemen yang sudah disiapkan oleh Fitho untuk Cerelia.
Darel menyarankan agar Cerelia bisa ikut dengannya dan menempatkan Apartemen tersebut.
Tempat itu benar-benar di siapkan dengan baik, agar Cerelia bisa nyaman nantinya. Fitho ingin Cerelia kerasan di Apartemen tersebut tanpa harus membebani keluarga Bram kembali. Kalau-kalau memang pengusiran itu terjadi. Sematang itu memang Fitho memikirkannya.
Telepon tersebut sudah terputus sejak tadi. Cerelia menyudahinya, lantaran sudah mengantuk. Dan Darel memaklumi itu. Biar hal tadi, besok saja dibahas kembali. Cerelia juga bilang, keputusannya akan ia beritahu besok. Karena dirinya juga tak ingin memberi keputusan itu terlalu lama. Yang artinya, ia sudah ingin pergi dari rumah ini.
Sudah cukup rasa sakit hatinya sampai di sini. Cerelia tidak ingin menambah sakit lagi dengan hal-hal yang terjadi kedepannya. Biar saja, ia yang mengalah.
Toh, kalau pun sudah tidak tinggal di rumah ini. Dirinya masih bisa bertemu dengan Bram di luar. Maka, tak ada yang perlu di takutkan.
Cerelia memilih untuk menepis pikirannya itu sejenak. Ponselnya ia simpan di atas nakas, dan mematikan lampu kamar dan membiarkannya menjadi gelap. Menarik selimut dan mulai memejamkan mata. Berharap mimpi indah datang ke alam bawah sadarnya.
_______
Terima kasih ❤
![](https://img.wattpad.com/cover/278914035-288-k819314.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart's Owner (End)
Teen Fiction"Entah sudah berapa kali aku di bodohi, tapi tetap saja masih bertahan." ______ Darel Arfanda Migler. Hidup dengan penuh kebahagiaan, di mulai dari keluarga, sahabat, bahkan kekasihnya. Siapa yang tidak tahu Darel? Dia berpacaran dengan cewek popul...