17. Keluarga

72 10 4
                                    

Harusnya posisiku tidak seperti ini, tapi sayangnya hal itu berbeda.
Ingin di kasihi serta di sayangi, sebatas angan semata. Yang ada hanya sebuah siksaan tanpa henti.
Fisik dan batin kini terus berteriak minta di ampuni.

________

Pukul 20:00, di kediaman Cerelia.

Cerelia masih berkutat di layar laptopnya. Dengan jari-jari yang mengetik tiada henti, juga serta buku-buku yang berserakan di meja. Jari-jemarinya seakan mempunyai dua fungsi dalam satu waktu, mengetik juga menulis. Matanya begitu fokus, hingga kefokusan itu teralihkan oleh daun pintu yang kini terbuka sedikit. Mendapati kakaknya yang menampilkan wajah menyebalkan, menurutnya.

"Ada apa?" tanya Cerelia dengan malas.

"Papa suruh kamu turun, karena mau makan malam. Mama udah masak cukup banyak untuk kita." Cerelia menghela nafas dan jarinya mulai berkutat di layar laptop kembali, ia menyimpan file sementara di sana.

Kemudian Cerelia bangkit dan memapah Sintya untuk turun ke bawah. Tanpa ada sepatah kata apapun untuk kakaknya itu.

"Malam, Pa, Ma." Sintya berujar seraya menduduki kursi yang kosong sebelah kanan dari kursi Cerelia duduki sekarang.

"Malam, sayang." Sang mama menjawab.

"Malam, anak-anak Papa."

Cerelia hanya tersenyum atas apa yang papanya ucapkan. Ia memilih untuk menuangkan air putih dan meneguknya hingga sisa setengah.

"Cer, kapan-kapan ajak Darel makan sama-sama disini, ya. Kayanya dia asik, terlihat dari gaya bicaranya juga yang santai dan terbilang sopan."

"Iya, Pa. Mungkin lain kali aku ajak dia makan sama-sama di sini, asalkan ada Papa, aku mau."

Seusai itu mereka makan bersama tanpa ada suara obrolan. Hanya suara denting sendok dan garpu. Mereka berempat menikmati makan malam dengan khidmat.

Sebenarnya Cerelia tidak nyaman sejak tadi. Lantaran ia memakan makanan masakan mamanya. Selama papanya tidak ada, ia tidak pernah makan di meja makan serta memakan lauk-pauk yang dimasak mamanya.

Cerelia menelan nasinya dengan susah payah. Jujur masakan ini memang tidak ada duanya. Tapi ya mau bagaimana, setiap menyentuh dapur ketika ada makanan, amarah lah yang ia dapat.

Sebenarnya ia terbiasa berdiam diri di dalam kamar sendirian, bukan berkumpul di meja makan seperti ini. Hal yang seharusnya ia hindari, justru ia hampiri.

Cerelia menyudahi makannya. Piring dan gelas yang kosong ia bawa ke wastafel, juga sekaligus mencucinya. Setelah itu dirinya meraih gelas kering dan mulai menyeduh cokelat panas. Hal yang biasa ia lakukan saat di kamar dengan setumpuk tugas sekolah.

Pergerakan Cerelia sedari tadi tak luput dari pandangan sang papa. Matanya memicing kala Cerelia sibuk dengan kegiatannya sendiri. Bahkan anak keduanya itu menghindari kontak mata serta obrolan dengan mama dan kakaknya.

"Pa, aku udah selesai makan. Aku mau ke atas, ya, soalnya banyak tugas."

"Sayang, tunggu ...."

"Ada apa, Pa?"

"Kamu lagi gak nutupin sesuatu, kan? Apa ada masalah di sekolah?"

Cerelia dengan cepat menggeleng, ia tersenyum menatap papanya itu.

"Enggak kok, Pa. Aku gak ada masalah apa-apa di sekolah, pun aku juga gak lagi nutupin sesuatu. Aku ke atas, Pa, takut kemalaman ngerjain tugasnya."

Kemudian Cerelia melangkah dengan cepat menuju tangga. Ia ingin segera menghindari situasi yang ada.

Heart's Owner (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang