Tidak terasa, saat ini ternyata aku sudah lulus. Dan tidak terasa juga, esok Salwa benar-benar akan menikah, dan menjadi istri orang lain. Mengingat itu, aku hanya bisa tersenyum pahit.
Hari sudah malam. Sedari tadi, saat pulang dari sekolah untuk merayakan kelulusan, aku hanya berdiam diri, duduk di sofa rumahku tanpa melakukan apapun kecuali, menatap satu koper besar di ujung sana. Kumantapkan hati dan tekadku untuk pergi dari sini, dari rumah ini, dan dari kota ini. Rasanya, jika aku tetap berdiam diri di sini, hanya akan membuatku semakin sakit dan tak bisa melanjutkan kehidupan dengan baik. Kabar pernikahan gadis itu, cukup membuatku tertekan dan kepikiran. Aku tak bisa terus di sini. Aku tak ingin bertemu dengannya disaat dia sudah menggandeng suaminya nanti. Kuyakin, Salwa tak akan mungkin punya banyak waktu lagi untuk menemuiku. Lalu, untuk apa aku di sini, jika sekali bertemu saja, aku harus melihat Salwa yang bahagia bersama suaminya itu? Buang-buang waktu!
***
Aku berdiri di depan cermin sembari menatap pantulan diriku sendiri. Kemeja hitam sudah melekat di tubuhku. Rambut kubiarkan terurai karena aku terlalu malas untuk menatanya. Yang jelas, aku sudah cukup rapi dan siap untuk datang ke acara pernikahan itu.
Menghela nafas berkali-kali, lalu aku pun meninggalkan cermin, dan berjalan keluar kamar. Kuambil buket bunga, dan kotak berisi hadiah dariku untuk Salwa di atas sofa. Kotak itu berisi gelas couple antik untuknya dan suaminya. Tak usah ditanya bagaimana perasaanku saat membeli itu.
Kusiapkan diriku, untuk keluar rumah, lalu selanjutnya pergi ke tempat di mana Salwa akan menikah.
***
Gedung yang cukup besar, kini sudah berada di hadapanku. Gedung yang akan menjadi saksi bisu, dimana Salwa dan pria itu mengikat janji pernikahan. Dilihat dari sini saja, interiornya pun sangat mewah. Entahlah bagian dalamnya. Ternyata, pria yang akan menikahi Salwa bukanlah orang sembarangan. Tak mungkin ia bisa menyewa gedung beserta perlengkapan lainnya se-mewah ini, jika ia bukanlah dari keluarga konglomerat, ataupun selebriti.
I don't give a fuck about that, anyways. Bagaimanapun keadaan si pria, toh Salwa mungkin akan tetap mencintainya.
Aku mulai melangkahkan kakiku, menaiki anak tangga yang dilapisi oleh karpet berwarna merah. Jantung kembali berdebar kencang. Apakah aku sanggup?
"Eh, Rhea???"
Kutolehkan kepala ke samping. Seorang wanita paruh baya dengan sanggul dan riasannya yang cantik, menghampiriku sembari tersenyum lebar. "Tante Intan."
"Makasih ya udah mau dateng."
"Iya. Lagipula, Salwa kan sahabat aku. Gak mungkin aku gak dateng."
"Hahaha iya juga. Kalian kan kemana-mana bareng terus."
Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya.
"Oh iya? Kamu mau ketemu Salwa? Tadi dia masih dirias sih, lagi siap-siap."
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Can't I Hold You?
Teen Fiction(Completed) Bersahabat denganmu adalah hal yang paling menyenangkan di dalam hidupku. Namun memilikimu, mungkin akan menjadi hal yang paling terindah di dalam hidupku. Tapi sayang, sebab hal indah itu mungkin tidak akan terjadi. Kau tidak akan bisa...