15. Pain

4.2K 501 64
                                    

Rhea's Pov

Jangan bilang, aku sedang berhalusinasi lagi saat ini.

"Kenapa gak jawab, Rhe? Aku dulu yang jawab? Aku juga sebenernya bingung gimana jelasinnya ke kamu. Awalnya, aku sempet nyangkal ini. Rasanya, aneh aja kalo aku cinta sama kamu. Jangankan cinta, sekedar suka aja udah kedengeran gak wajar. Tapi, lama-lama perasaan itu makin keliatan. Aku juga sempet mikir dan takut kalo sikap aku ke kamu, bakal nunjukin perasaan aku. Aku juga kadang suka posesif kalo kamu lebih akrab sama temen kamu yang lain. Ya, karena aku cemburu. Tapi ternyata, kamu gak nyadar dan itu bagus. Jadi, aku gak perlu khawatir kamu bakal ilfeel sama aku nantinya. Ya, walaupun aku jadi harus mendem ini terus."

Alasan yang dia berikan tidak jauh beda denganku. Aku juga takut jika Salwa akan menjauh saat tahu aku mencintainya. Tapi sekarang, rasanya aku masih belum percaya bahwa gadis itu juga mencintaiku.

"Gak nyangka, ya? Sama aku juga. Ini yang aku rasain pas baca diary kamu."

Jadi, selama ini kita saling cinta tanpa ada satupun dari kita yang mengetahuinya? Itu artinya, cintaku tidak bertepuk sebelah tangan?

Perlahan, aku tersenyum dan menggenggam tangannya. "I-ini beneran?"

Salwa mengangguk antusias. "Kamu masih belum percaya? Aku gak pernah nulis diary kayak kamu sih, jadi susah juga buat nunjukin bukti kalo aku juga cinta sama kamu. Jadi, harus pake cara apa biar kamu percaya?"

Senyumanku hilang karena teringat sesuatu. "K-kalo kamu cinta sama aku, kenapa kamu nikah sama orang itu dan bilang cinta sama dia?"

Gadis itu diam terpaku, seolah terkejut dengan pertanyaanku.

"Kamu sendiri yang bilang pas di kebun teh waktu itu, kalo kamu cinta sama dia dan pengen cepet nikah sama dia. Tapi sekarang, tiba-tiba kamu bilang udah cinta sama aku dari lama banget. Maksudnya gimana? Jadi mana omongan kamu yang bener?" Mendadak, aku menjadi ragu akan ungkapan Salwa tadi. Apakah, dia mengatakan cinta padaku hanya untuk membuatku senang?

"U-um itu..."

Aku tersenyum pahit lalu melepaskan genggamanku. "Harusnya aku sadar sih, tadi kamu cuma ngomong doang. Kenyataannya, kamu emang cinta sama suami kamu." Lalu aku menghela nafas. "Salwa, maaf sebelumnya kalo aku udah lancang nyimpen hati buat kamu. Tapi, kamu gak perlu ngomong kalo kamu juga cinta aku cuma buat nyenengin aku. Aku gak mau berharap cuma gara-gara kebohongan kamu itu."

Salwa menggeleng kuat. "A-aku gak bohong! Aku beneran cinta sama kamu, Rhea!"

"Terus, apa maksud kamu 5 tahun yang lalu itu?"

"I-itu..." Dia nampak gelisah.

Aku masih setia, menunggungnya bicara, dan berharap, ucapan selanjutnya bukanlah kebohongan.

Kulihat gadis itu yang memainkan jarinya di atas meja. Ada apa sebenarnya? Apakah dia sedang mencari alasan lain lagi?

Aku pun kembali duduk tegak dan menatapnya intens. Ku pandangi wajahnya yang sedikit menunduk. "Sal--" Ucapanku terhenti saat netraku menangkap warna kemerahan di pipi yang memang tidak akan terlihat jika dari jauh. "Pipi kamu kenapa?"

Salwa menegakkan kepalanya, lalu memegang pipinya, seolah menutupi warna merah itu. "B-bukan apa-apa."

Karena mataku masih tertuju pada pipinya yang sekarang ditutupi oleh tangannya, kini aku bisa melihat punggung tangan Salwa yang juga nampak merah namun lebih dominan ungu di sana. Seperti lebam. "Ini tangan kamu juga kenapa?" Aku berusaha menarik tangannya.

Lagi-lagi, Salwa menutup punggung tangannya itu, menggunakam tangannya yang lain. "E-enggak ada apa-apa, Rhea... Ini cuma--"

"Aku mau liat."

Why Can't I Hold You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang