Tunggu. Apa? Aku tidak salah lihat, 'kan?
Sayang sekali kereta sudah sangat jauh dari tempat Salwa berdiri. Kurasa, tadi aku hanya salah lihat. Tidak mungkin Salwa mengatakan itu. Lagipula, aku merasa bahwa akhir-akhir ini penglihatanku sedikit kabur. Ya, aku pasti salah lihat. Saking aku mencintai Salwa, aku sampai berhalusinasi bahwa Salwa mengatakan cinta padaku.
Aku pun duduk di kursi yang kosong, dan kembali melamun. Mengingat tangisan Salwa tadi, aku jadi ingin ikut menangis. Apakah benar, tadi itu adalah pertemuan terakhirku bersamanya?
***
Saat ini, aku sudah tiba di Jakarta dan sedang beristirahat di apartmentku. Tempat yang akan kutinggali selama beberapa tahun ke depan.
Aku merebahkan diriku di atas sofa, melepas pegal karena sudah duduk berjam-jam. Kutatap langit-langit apart dengan pikiran yang tak kunjung kosong. Bisakah aku tinggal di sini tanpa pulang hingga aku lulus? Apakah aku tidak akan rindu pada Salwa? Apakah aku sanggup menahan rasa rinduku jika nanti tiba-tiba menyerang?
"Argh!" Aku mengacak rambutku kesal. Kenapa kisahku harus seperti ini? Menyedihkan!
Aku duduk dan meraih ranselku, hendak mengambil benda yang selalu kubawa kemana-mana. "Mana sih?" Tanganku sudah mengubek-ubek isi tas, tapi benda itu tak kunjung ketemu.
Aku pun mencarinya di tas lain dan di dalam koper. Tapi hasilnya sama, buku diary-ku tidak ada! "Jangan-jangan ketinggalan! Ck!" Mengapa barang yang selalu kubawa itu, harus tertinggal? Bukan apa-apa, hanya saja, buku itu berisi banyak kenanganku bersama Salwa. Jika aku bosan di sini dan merindukan gadis itu, aku bisa membacanya dan akan kembali tertawa saat membaca momen yang bahagia. Tapi sekarang, tidak bisa. Tak mungkin juga aku pulang lagi ke sana hanya untuk mengambil buku itu.
Sudahlah, nanti aku bisa membeli buku yang baru, lalu menulis ulang momen yang aku ingat.
Drrtt!
Kuambil ponsel di dalam saku celanaku. "Salwa???" Padahal, sejak kemarin aku sudah berniat untuk mengganti nomor ponselku. Aku tak ingin Salwa maupun yang lainnya bisa menghubungiku. Aku ingin memulai kehidupan baruku di sini. Dengan orang baru tanpa berkomunikasi lagi dengan orang lama.
Lantas saja, aku mematikan ponselku, lalu mencabut sim card lamaku. Kutatap sim card ini, rasanya berat sekali untuk membuangnya.
Dengan mengumpulkan tekad yang kuat, akhirnya, aku pun bangkit dari sofa, lalu berjalan menuju tong sampah di sudut ruangan ini. Menghela nafas berkali-kali, sim card pun berhasil aku jatuhkan ke dalam sana.
Aku pasti bisa melupakan semuanya. Tujuan awal aku ke sini, untuk melupakan Salwa. Menjauh dari gadis itu, lalu menghilangkan cintaku padanya. Jadi, jangan sampai ada akses darinya untuk menghubungiku, agar aku tidak gagal dalam tujuanku ini. Tak ada ruginya juga diary-ku tertinggal. Aku jadi bisa lebih fokus pada pendidikanku, tanpa harus membaca isi dari buku itu, dan kembali membuatku teringat pada Salwa.
Baiklah, kutekadkan diriku untuk melupakan gadis itu. Aku takkan menghubunginya, takkan mengingatnya, dan takkan kembali ke sana lalu menemuinya. Lagipula, tak ada lagi tempat untukku pulang. Aku sudah menganggap rumahku tak ada. Kota itu hanyalah tempat kelahiranku. Kehidupanku sekarang, mulai di sini.
***
1 tahun aku tinggal di sini. Tak ada perubahan signifikan yang positif, terjadi padaku. Yang ada, aku hanya semakin kacau karena merindukan gadis itu. Kukira, menjauhinya adalah cara yang tepat agar aku bisa melupakannya. Ternyata tidak!
Ayolah, Rhea, ini baru 1 tahun. Mungkin, di awal kau masih belum bisa melupakannya, masih tersisa tiga tahun lagi hingga kau lulus. Tunggu apa yang akan terjadi setelah tiga tahun itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Can't I Hold You?
Roman pour Adolescents(Completed) Bersahabat denganmu adalah hal yang paling menyenangkan di dalam hidupku. Namun memilikimu, mungkin akan menjadi hal yang paling terindah di dalam hidupku. Tapi sayang, sebab hal indah itu mungkin tidak akan terjadi. Kau tidak akan bisa...