24. The Fact

4.1K 437 49
                                    

Maksain nulis, pengen update, jadi up nya jam segini, mwehehehe.
.
.
.
.
.

Tidak bisa dibiarkan lagi, kami pun akhirnya membawa Feby ke psikiater. Salwa sempat menolak, karena takut Feby akan didiagnosa yang tidak-tidak. Tapi bagaimanapun juga, anak ini harus segera diperiksa sebelum terlambat.

Dan sekarang, kami baru saja selesai berbincang dengan sang psikolog. Entah ini berita yang melegakan atau bukan, tapi beliau berkata, bahwa anak dibawah umur memang belum bisa dikatakan sebagai psikopat. Tadi, Feby juga berkali-kali diajak berkomunikasi oleh psikolog tersebut, dan sesekali bertanya pada Salwa selaku Ibu yang sudah mengurusnya dari kecil. Dan psikolog itu berkata, "Kemungkinan besar, ini adalah keturunan." Mengingat, didikan yang Salwa berikan juga cukup baik. Tak ada yang memicunya untuk melakukan tindakan mengerikan seperti itu.

Disitu, kami sempat syok. Jadi, penyebab anak ini sering melakukan hal mengerikan seperti itu, adalah keturunan dari ayahnya? Karena jika dari Salwa, itu sangat tidak mungkin. Kebetulan, Arsen memanglah pria yang kasar. Tapi kami tidak tahu juga, jika pria itu memang seorang...psikopat.

Untuk memastikan hal ini, aku dan Salwa pun memutuskan untuk bertemu dengan dua orang bodyguard, yang memang sudah lama mengabdi dengan pria tua itu, dalam kata lain, Papanya Arsen. Kami berharap, dua pria itu bisa memberikan informasi jelas, tentang keluarga tersebut.

Di sinilah kami sekarang, di depan rumah Papa Arsen. Aku belum pernah ke sini sebelumnya. Rumahnya juga tak kalah besar dengan rumah Salwa dan Arsen.

Lantas, aku pun menekan bel, lalu keluarlah salah seorang pria, yang kutahu adalah salah satu bodyguard itu.

"K-kenapa kalian datang ke sini? Sebelumnya saya sudah bilang, j-jangan kembali lagi."

Dari penampilan pria ini, aku bisa memastikan, bahwa dirinya mengambil alih harta peninggalan Papa Arsen. Dia seolah sang pemilik rumah tersebut. Pakaiannya mewah, rambut klimis, sangat berbeda saat di rumah sakit itu yang hanya memakai kaos oblong hitam. Mungkin, Papa Arsen sebelumnya memang sempat berkata akan meninggalkan hartanya untuk anak buahnya itu, atau mungkin, mereka memang mengambil kesempatan ini agar bisa menguasai semua hartanya. Tapi, apapun alasannya, aku tidak peduli. Toh ini bukan urusanku, bahkan bukan pula urusan Salwa.

"Kami ingin bertanya sesuatu pada anda." Ujar Salwa.

Pria itu nampak melihat ke arah belakang gadis itu. Tepatnya, ke arah anak kecil yang sedang diam.

"Feby gak akan macem-macem kalo anda mau ngomong." Ucap Salwa lagi.

Pria itu meleguk ludahnya. "B-bertanya apa?"

Lantas, kami pun mulai menjelaskan maksud kedatangan kami ini.

"U-um, saya kurang tau kalo soal itu. Tapi, yang saya tau, Tuan Arsen memang suka membunuh mantan-mantan istrinya. J-jadi, mereka bukan cerai, melainkan Tuan Arsen membunuh mereka."

Aku tercengang mendengarnya. "Jadi, kalau pria itu masih ada, apakah dia juga bakal menjadikan Salwa sebagai korban selanjutnya?"

"M-mungkin saja. Yang saya tau, Tuan Arsen selalu dikabarkan bercerai dengan istrinya, setelah 5 taun menikah. Dan setau saya juga, Tuan Arsen sudah menikah 3 kali. Itu artinya, sudah 3 orang yang dia bunuh. Saya juga tidak tahu, di luar sana, apakah Tuan Arsen juga melakukannya atau tidak. Saya tahu ini, hanya karena saya menguping pembicaraan Tuan Arsen dan Boss waktu itu. Saya yakin tidak salah dengar, karena saya juga mendengar itu, bersama teman saya. Dan dia juga mendengarkan hal yang sama. Yang lebih menguatkan hal ini, saya pernah tidak sengaja, menemukan kaki seorang wanita di halaman belakang dengan posisi terkubur. Dan itu,,, hanya kaki tanpa tubuh."

Why Can't I Hold You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang