Pria paruh baya itu, sudah terbaring lemah tak bernyawa, di atas ranjang rumah sakit. Kami semua diam, bingung harus berbuat apa. Terlebih, dokter mengatakan bahwa faktor utama pria ini meninggal, selain karena riwayat penyakit jantungnya, juga karena racun yang menyebar di dalam tubuhnya dari sebuah hewan mematikan yang menyengatnya kemarin. Mungkin karena usianya juga yang sudah hampir rentan, pria itu tidak bisa bertahan lebih lama lagi untuk melawan racun itu.
Permasalahannya di sini adalah, Feby yang mungkin dengan tidak sengaja, membuat kakeknya sendiri kehilangan nyawa. Gadis kecil itu meletakkan kalajengking tersebut, di lengan sang kakek. Entah apa yang dipikirkannya, dia bahkan mengira bahwa saat kakeknya berontak, itu karena kakeknya senang menerima hadiah darinya yang berupa hewan beracun. Jika sudah seperti ini, siapa yang disalahkan?
"Ekhem!" Sontak, pandangan kami tertuju pada pria yang kutahu adalah bodyguard dari pria paruh baya itu. "Kami menyuruh Nyonya Salwa datang ke sini, bukan semata-mata hanya untuk melihat keadaan ayah mertua nyonya. Tapi, ada suatu hal, yang harus kami katakan kepada nyonya. Hal ini, disampaikan langsung oleh boss, sebelum beliau menjemput ajalnya."
"Apa?" Tanya Salwa dengan nada lemah. Mungkin gadis itu sudah terlalu lelah menghadapi permasalahan dari keluarga suaminya itu. Bahkan saat keduanya sudah tiada, dia masih harus merasakan rasa tak enak seperti ini.
"Um,,, bos..." Pria itu nampak ragu melanjutkan ucapannya. "...meminta nyonya untuk menyerahkan diri ke polisi. Karena yang menyebabkan semua ini, ya anak nyonya sendiri. Jika nyonya tak mau anak nyonya yang mendapat hukuman, terpaksa nyonya yang harus mendapatkannya. Boss sudah memberitahu hal ini pada pihak polisi sejak kemarin. Jika nyonya tidak menyerahkan diri dengan segera, maka polisi yang akan datang lalu menyeret nyonya menuju ke kantor polisi."
Salwa membekap mulutnya. Segera saja aku merangkul gadis itu dan menenangkannya. Kutatap pria yang tadi bicara itu. Sesekali, aku juga menatap pria satunya, yang sedari tadi hanya diam. "Kalian gak bisa lah seenaknya kayak gini! Jelas-jelas di sini Salwa itu gak salah! Kenapa kalian gak bisa tegas, ngasih tau boss kalian itu bahwa keputusannya itu salah? Kalian takut kah? Gak anak, gak papa, sama-sama gak punya hati! Apa kalian juga mau, dianggap tidak punya hati dan perasaan? Atau memang kalian tidak punya?"
"Di sini, kami hanya melaksanakan apa yang boss perintahkan. Tugas kami hanya menurutinya sebagai atasan kami."
"Walaupun kalian bawahan, tapi kalo kalian tau ini salah, kalian punya hak buat ngomong! Jangan mentang-mentang cuma bawahan, tugas kalian ngikutin semua apa yang boss kalian perintahkan. Trus, kalo boss kalian nyuruh kalian buat terjun dari gedung lantai 30, apa kalian juga bakal nurut karena itu perintah atasan kalian? Gak kan? Ada masanya bawahan juga punya hak buat berpendapat, dan menentang apa yang diperintahkan atasannya jika itu salah! Kecuali, emang kalian gak punya otak buat mikir! Harusnya kalian berani nolak buat lapor polisi, kalo kalian udah tau, di sini Salwa gak salah! Udah gini, kalian bisa apa?! Kalo Salwa benar-benar sampai di seret ke tempat itu, kalian gak akan bisa hidup tenang! Saya juga bisa menuntut kalian!"
"Udah Rhe... Sabar..." Salwa mengusap-usap tanganku, berusaha meredekan emosiku yang tengah meluap. Bagaimana tidak? Gadis yang aku cintai ini, disuruh menyerahkan dirinya ke polisi, atas kesalahan yang bahkan tidak dia lakukan. Tentu aku tidak terima. Lagipula, selama ini Salwa sudah cukup menderita berada di dalam keluarga itu. Dan saat mereka sudah tiada, Salwa juga justru masih merasakan penderitaannya.
Dua pria itu, kini hanya diam. Mungkin mereka pun sudah tak tahu harus merespon apa. Pendirian mereka tetaplah kokoh, bahwa mereka akan terus menuruti apa yang boss mereka katakan.
"Hiks, gak apa-apa, aku nyerahin diri aja. Aku gak mau Feby yang malah kena." Ucap gadis itu yang disertakan dengan isakan.
Mataku membulat, "Gak bisa lah, Sal... Lagian, polisi macam apa yang jeblosin orang ke penjara, tanpa adanya bukti kalo orang itu salah?" Aku melirik pria yang sudah tak bernyawa itu. "Kecuali, dia emang ngebuat-buat cerita. Atau... bisa aja dia pake uang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Can't I Hold You?
Teen Fiction(Completed) Bersahabat denganmu adalah hal yang paling menyenangkan di dalam hidupku. Namun memilikimu, mungkin akan menjadi hal yang paling terindah di dalam hidupku. Tapi sayang, sebab hal indah itu mungkin tidak akan terjadi. Kau tidak akan bisa...