Aku mencoba membuka mataku saat gadis itu memanggilku.
"Ya ampun, Rhea... Kamu minum???" Wajahnya nampak sangat khawatir. "Aku kan udah larang kamu buat minum-minum. Kita cari tempat duduk dulu, ya." Dia merangkulku, lalu membawaku ke salah satu kursi. Aku pun duduk. "Kayaknya kamu minum banyak banget."
"Kamu ke sana aja. Suami kamu nungguin." Ucapku dengan nada lemah.
"Tapi kondisi kamu lagi kayak gini..."
"Aku gak apa-apa." Kutampilkan senyumanku. "Gih ke sana."
Perlahan, Salwa pun bangkit. "Kamu di sini aja ya, jangan maksain dansa apalagi pulang sendiri. Kalo aku udah bisa pulang, aku pasti bakal anter kamu ke rumah."
"Aku bisa pesen taxi nanti."
"Y-yaudah kalo gitu, aku ke sana dulu ya. Kamu jangan minum-minum lagi, udah cukup."
"Iyaa." Aku masih tersenyum.
"A-aku pergi dulu." Salwa pun mulai melangkahkan kakinya, menghampiri suaminya yang masih berdiri di tengah-tengah para pasangan yang sedang berdansa.
Senyumanku pudar seketika saat gadis itu sudah tidak menatapku lagi. Sudah minum banyak pun, rasanya pikiran dan pandanganku masih tetap fokus padanya. Lebih baik, aku pulang saja. Sudah cukup aku di sini. Dan mungkin, tadi adalah percakapan terakhirku bersama Salwa.
***
Aku sedang duduk di salah satu kursi, menunggu kereta yang akan kutumpangi menjemputku dan para penumpang lain. Aku datang ke sini terlalu cepat, dan alhasil, aku harus lebih lama lagi menunggu kereta tersebut.
Kusandarkan tubuhku pada kursi besi ini, mencari posisi nyaman untuk duduk yang tidak sebentar. Ingin berkeliling terlebih dahulu pun, rasanya malas. Pikiranku sedang lelah saat ini. Aku hanya ingin duduk dan berdiam diri sambil sesekali melamun.
Kira-kira, bagaimana kabar Salwa hari ini? Pasti dia lebih bahagia dari hari kemarin. Suaminya itu, mungkin saja telah memberi kenyamanan dan kehangatan padanya semalam. Membayangkannya saja, sudah membuatku menghela nafas. Kapan aku bisa melupakan Salwa? Gadis itu sudah bahagia dengan pilihannya. Dan sebagai orang yang mencintainya, aku harus menjaga jarak agar perasaanku ini tidak mengganggu kehidupannya. Lebih tepatnya, kehidupan barunya.
Apakah, dia akan peduli jika aku pergi dari sini? Toh, dia mungkin akan lebih sibuk mengurus suaminya itu. Aku hanyalah sahabat yang akan dilupakannya. Jadi, tak ada gunanya juga aku memberi tahu secara langsung pada Salwa, bahwa hari ini aku akan pindah ke Jakarta.
"Maaf, apa bapak liat orang ini?????"
"Enggak."
"Bu! Bu! Ibu liat orang ini???"
"Maaf dek, enggak liat."
"Permisi, apa kalian liat orang ini?"
"Gak liat."
Lamunanku buyar saat mendengar suara gaduh di belakangku. Lantas, aku pun menoleh ke belakang, melihat siapa yang tengah menanyakan seseorang pada orang-orang yang berada di sini.
Mataku membulat. Bagaimana bisa Salwa ke sini???
Sontak, aku pun kembali berbalik, menunduk dan berusaha menutup wajahku.
"Rhea!!!" Ah sial! Salwa berhasil melihatku. Aku mendengar langkah kakinya yang mendekatiku. "Rheaa???"
Tak bisa menghindar lagi, aku pun menegakkan wajah dan menatapnya.
"Ya ampun, Rhea!" Salwa langsung memelukku. Aku sempat terkejut karena ulahnya. "Rhea kenapa kamu gak bilang bakal pergi???"
"Kamu udah buka kadonya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Can't I Hold You?
Teen Fiction(Completed) Bersahabat denganmu adalah hal yang paling menyenangkan di dalam hidupku. Namun memilikimu, mungkin akan menjadi hal yang paling terindah di dalam hidupku. Tapi sayang, sebab hal indah itu mungkin tidak akan terjadi. Kau tidak akan bisa...