Prolog

259K 11.2K 254
                                    


Suara ribut dari dalam rumah dua lantai itu terus terdengar. Membuat siapapun yang melintas di depan rumah itu akan merasa terganggu.

Di bawah pohon halaman rumah itu terlihat bocah laki-laki yang sedang duduk dengan posisi kaki di tekuk. Wajahnya yang putih dan pipinya yang gembul kini dihias bulir air mata.

"Mama ...,"lirihnya sambil terus menangis.

Teriakan-teriakan dari dalam rumah terus terdengar. Bocah itupun semakin terguncang. Tangisnya tak dapat ditahan lagi.

"Aku selalu lakuin yang terbaik untuk keluarga kita, Lin! Kamu pikir aku kerja dari pagi ketemu pagi itu semua buat siapa? Buat kamu dan Naresh!!"

"Buat aku sama Naresh? Mas, nggak usah bohong! Aku tau selama ini Mas ada main belakang sama sekretaris ganjen itu, kan?"

"Kamu salah paham, Herlin! Aku nggak ada apa-apa sama dia. Dia aja yang kegatelan. Lagipula aku juga udah pecat dia, kan?!"

Setelah perdebatan itu si kecil Naresh melihat sang mama keluar rumah sambil menyeret kopernya. Naresh berdiri dan langsung menahan tangan Herlin.

"Mama mau ke mana?" tanya Naresh dengan suara parau.

Wanita berambut cokelat itu memalingkan wajah. Ia seolah tak sudi menatap wajah dan mata sembab putra kecilnya itu.

"Bukan urusan kamu!" jawab Herlin kasar.

Herlin menghempaskan tangan Naresh. Bahkan Naresh sampai terjatuh karenanya.

"HERLIN!" teriak Tama, Papa Naresh.

"Aku capek sama kamu, Mas! Aku capek sama kalian berdua!! Aku nggak mau di sini lagi!!" seru Herlin frustrasi.

"Tega kamu bilang begitu, Lin? Tega kamu lakuin semua ini? Naresh masih anak kamu. Kamu mau ninggalin dia? Iya?" cecar Tama emosional.

Sekesal apapun dan serumit apapun masalah yang sedang dihadapinya tak pernah sekalipun Tama melibatkan apalagi menjadikan Naresh sebagai pelampiasan. Tapi yang terjadi barusan Herlin justru melakukannya. Wanita yang harusnya melindungi dan menyayangi anaknya itu, kini justru mengaku muak dan lelah.

"Terserah! Aku nggak peduli!" sentak Herlin.

Tangan Herlin kembali menarik kopernya. Ia pun beranjak meninggalkan Tama dan Naresh yang masih menangis akibat perlakuan kasarnya.

Saat sampai di depan gerbang ternyata sudah ada satu unit mobil yang menunggu Herlin. Pemilik mobil itu keluar dan membantu Herlin memasukkan kopernya ke dalam bagasi.

Melihat siapa lelaki itu Tama pun berdiri. Rahangnya seketika mengeras karena tau ternyata lelaki itu tak lain adalah Virza, sahabat karibnya.

Virza tak tampak merasa bersalah. Lelaki itu justru tersenyum sekilas pada Tama sebelum akhirnya membawa Herlin pergi dari sana.

"Papaaa ... hiks ... Mama ke mana? Mama ninggalin kita, Paaaa ...."

Tangisan Naresh tak dapat dibendung ketika Herlin sudah benar-benar pergi.

Tama berlutut lalu membawa Naresh ke dalam pelukannya. Ia pun tak kuasa menahan tangis.
Hatinya sakit saat tau ternyata istri dan sahabatnya selama ini memiliki hubungan di belakangnya.

"Jangan nangis. Anak Papa nggak boleh cengeng," ucap Tama seraya mengusap surai hitam Naresh.

Namun Naresh tak kunjung meredakan tangisnya. Ia terus memanggil Herlin. Berharap Herlin akan kembali.

"Pelmisi om ...."

Seorang bocah perempuan tiba-tiba datang dari rumah seberang.

Bocah itu menyapa Tama yang masih setia memeluk Naresh. Ia juga mendekat sambil membawa sebuah lolipop di tangan kanannya.

"Om ... dia kenapa nangis?" tanya bocah itu. Telunjuk mungil gadis itu terarah pada punggung Naresh.

Seketika Naresh langsung melepaskan diri dari dekapan Tama. Ia berbalik dan menatap bocah yang seumuran dengannya itu.

"Kamu siapa?" tanya Naresh seraya mengelap ingus di bawah hidungnya.

"Halo. Aku Kala ... aku balu pindah kemalin ...," kata Kara dengan suara cadelnya.

"Halo, Kara! Kenalin saya Om Tama dan ini Naresh," sambut Tama.

Kedatangan Kara membuat Tama bersyukur karena berkat Kara, kini Naresh sudah tak menangis lagi. Naresh kini sedang terpaku pada bocah perempuan yang rambutnya dikepang dua dan dua gigi depannya ompong itu.

"Naresh, ayo kenalan dulu sama Kara," pinta Tama.

Ragu-ragu Naresh mengulurkan tangannya. Diluar dugaan Kara justru menyambutnya dengan senang hati.

"Halo, Nalesh. Namaku Kala. Nalesh mau nggak jadi temen Kala?"

Naresh menatap Tama, lalu beralih menatap tangannya yang masih dipegang oleh Kara.

"Nanti Kala kasih lolipop deh kalo Nalesh mau temenan sama Kala," bujuk Kara.

Akhirnya Naresh mengangguk.

"Yes! Kala punya temen!!" pekik Kara terlampau senang.

"Nih, lolipop buat Nalesh. Besok Kala bawain lagi, ya," lanjut Kara.

Naresh menerima lolipop pemberian Kara. Senyumnya semakin lebar saat melihat kedua gigi depan Kara yang ompong. Begitu pula dengan Tama yang juga gemas pada Kara.

Tama mengusap kepala Kara. "Kara cantik. Makasih, ya, udah mau jadi temen Naresh."

Kara mengangguk antusias. "Sama-sama Om!"

Kara kembali menatap Naresh dan berkata, "Jangan sedih lagi, ya, Nalesh. Kala janji nanti Kala kasih lolipop yang buanyaaak."

***

Halo, guys! Akhirnya setelah sekian lama aku nulis teenfic lagi. Gimana? Ada yang kangen, nggak? Semoga ada, ya. Hehehe.
Btw, jangan lupa vote dan tulis kesan kalian buat chapter perdana teenfic keduaku ini, ya.
😊😊😊

Naresh & Kara

Naresh & Kara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Possesive PlayboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang