Extra Chapter 1

46.9K 3.1K 87
                                    


Kedua kaki Kara menuruni anak tangga dengan ritme santai. Sementara netra jernihnya menatap sekeliling rumah yang pagi ini terasa sangat berbeda. Ada sepercik kehangatan yang sudah lama menghilang. Kehangatan yang amat sangat Kara rindukan.

Sayup-sayup dapat Kara dengar suara mama dan papanya dari ruang makan. Entah apa yang mereka perdebatkan di pagi yang cerah ini. Aroma wangi dari masakan Hilda pun semakin menambah hangat suasana. Rasanya sudah sangat lama Kara menantikan momen ini. Terlalu lama hingga saat momen ini tiba jantungnya jadi berdebar-debar.

Kara tiba di depan pintu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang dapur. Di sana ia sudah melihat sang papa yang duduk anteng sambil minum kopi dan sang mama yang masih sibuk menata menu sarapan buatannya di atas meja.

Senyum Kara kian mengembang menyaksikan pemandangan itu.

Ia pun kembali melangkah, lalu duduk di kursinya.

"Pagi, Ma, Pa!" sapa Kara.

Kedua orang dewasa itu menoleh ke arah Kara. Senyum mereka tak kalah merekah.

"Pagi anak mama!" balas Hilda.

"Selamat pagi tuan putrinya papa!" balas Bambang.

"Mama masak apa?" tanya Kara.

Wanita itu tersenyum lembut, lalu berucap," Mama masak semua makanan kesukaan Kara."

"Mama nggak adil, Ra. Masa cuma masak makanan kesukaan kamu doang," adu Bambang.

Hilda merotasikan bola matanya malas. Ia meraih piring sang suami dan mengisinya dengan nasi serta lauk yang tersedia.

"Makan aja, Pa. Nggak usah sok sedih gitu."

"Tuh, dengerin kata mama, Pa. Nggak boleh ngomel-ngomel. Kan udah dimasakin," timpal Kara, membela sang mama.

Lelaki berkemeja putih itu mendengus geli. Lalu, menerima piringnya yang telah terisi.

"Iya, deh. Papa pasti kalah kalo sama kalian. Dua lawan satu. Mana mungkin bisa menang," ocehnya pasrah.

Kara dan Hilda bertos, kemudian menyantap sarapan bersama.

"Hari ini berangkat sama papa, kan?" tanya Bambang.

Kara mengangguk dengan mulut agak penuh. "Iya, Pa. Soalnya Naresh udah berangkat duluan. Katanya ada latihan basket gitu."

Kening Hilda dihias kerutan halus. Pertanda ia sedikit heran dengan penuturan sang putri.

"Naresh masih ikut main? Bukannya udah kelas 12, ya? Harusnya lebih fokus belajar, dong."

"Cuma sampai bulan depan, Ma. Dia juga ngotot mau ikut turnamen itu buat ngumpulin poin sertifikatnya nanti," papar Kara.

"Oh, Naresh mau daftar kuliah jalur prestasi," cetus Bambang.

Akhirnya, dia paham dengan jalan pikiran sahabat dekat putrinya itu.

Kara mengangguk cepat. Kemudian melanjutkan sarapan dengan tenang. Ya, meski sesekali Hilda masih menanyai Kara perihal rencananya setelah lulus SMA. Lantas, sudah pasti jawaban Kara adalah tidak tahu. Sebab, sejujurnya ia belum memikirkan hingga ke arah sana. Padahal, sekarang dirinya sudah menginjak kelas 12.

***

Gerbang besar SMA Ganesha baru saja Kara lewati. Kini, kakinya terus melangkah menuju kelasnya yang sudah pasti harus melewati lapangan basket.

Matahari yang mulai meninggi menyorot silau. Membuat Kara harus mengangkat tangan guna melindungi penglihatannya tetap normal.

Di lapangan basket dapat ia lihat Naresh bersama seluruh tim basket sedang berlari. Entah sudah berapa putaran. Namun, dilihat dari peluh yang menghias wajah mereka juga gurat lelah yang terbias pasti sudah cukup lama mereka berlari.

Possesive PlayboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang