"Mau langsung pulang atau makan malam dulu, nih?"Akhirnya, suara Rengga memecah keheningan yang terjadi sejak saat mereka keluar bioskop. Kini kelima orang itu sudah berada di area parkiran mal.
Iris cokelat Rengga berotasi, menatap pada keempat temannya. Atmosfer keruh tampak begitu kental mengelilingi sekitar Kara dan Naresh. Itulah fakta yang Rengga dapat setelah cukup lama menganalisis dalam diam.
"Gue mau pulang aja. Capek," jawab Kara. Suaranya terdengar lesu tak bersemangat.
"Yah, kok pulang, sih, Ra? Makan dulu, yuk! Gue traktir, deh," bujuk Yere.
Kara hanya membalasnya dengan senyum sekilas.
"Ngga, gue nebeng, ya," celetuk Olin tiba-tiba.
Kening Rengga mengernyit dalam. Mulai merasa aneh dengan sikap Olin. Sebab, tak biasanya cewek itu minta tebengan darinya.
"Kenapa lo? Sakit jiwa?" tanya Rengga.
Pukulan keras pun mendarat di lengan kanan Rengga.
"Awhh!" ringis Rengga.
"Jahat banget lo. Teman mau nebeng malah dibilang sakit jiwa. Lo, tuh, yang sakit jiwa," hujat Olin.
"Gue juga nebeng, ya, Ngga," sambung Yere dengan tak tahu dirinya.
Tingkah ketiga orang itu sontak membuat Kara menahan senyum ditengah suasana hatinya yang tak terlalu baik. Ah, punya teman seperti mereka bertiga ternyata bukan sesuatu yang buruk. Begitulah pikir Kara.
Nyatanya disaat seperti ini mereka mampu membuat Kara menahan senyum dan sedikit teralihkan dari gulungan emosi yang memenuhi kepalanya.
"Lo berdua ...."
Rengga kehabisan kata-kata. Tak merasa mampu melawan dua orang yang mendadak menjelma jadi parasit itu.
"Ya, udah. Ayo!" ajak Rengga.
"Yes! Makasih Rengga ganteng!!" seru Olin. Suaranya sengaja diimut-imutkan.
"Dih, najoooong!" sahut Yere.
"Najong-najong! Elo, tuh, bencong," hujat Olin, lalu menendang betis Yere.
"Astaghfirullah! Dasar ondel-ondel!" teriak Yere sembari menahan sakit pada betis kanannya.
Tak ingin semakin jadi tontonan para pengunjung mal yang berada di sekitar sana, maka Rengga berinisiatif menyeret dua parasit itu menuju mobilnya. Meninggalkan Kara dan Naresh yang entah sejak kapan begitu betah saling diam. Seolah-olah ada lakban yang menutupi rapat bibir mereka.
Sepeninggal Rengga bersama dua peliharaan--ah, dua temannya, Kara dan Naresh masih betah diam.
Entah apa yang ada dalam pikiran Naresh hingga sepanjang film diputar sampai kini sudah berada di parkiran mal yang ia lakukan hanya mengunci mulut rapat-rapat. Tidak berniat bicara sepatah katapun.
"Lo ... mau langsung pulang? Atau ada acara lain?" tanya Kara dengan hati-hati.
Naresh tak langsung menjawab. Ia diam beberapa detik, kemudian beranjak menuju si Juki yang terparkir dua meter di depannya.
Gemuruh tiba-tiba saja menyerang dada Kara saat Naresh tak kunjung menjawab pertanyaannya. Seketika ia merasa begitu aneh pada sikap Naresh. Lebih tepatnya ia tak suka Naresh yang lebih banyak diam seperti ini. Apa ini semua karena cewek tadi? Karena pertemuan mereka setelah hampir dua tahun berpisah?
"Mau pulang, nggak?"
Suara keras Naresh memecah lamunan Kara. Memaksa Kara untuk memunguti kembali kesadarannya yang sempat tercecer.
KAMU SEDANG MEMBACA
Possesive Playboy
Teen FictionNareshta Ravaleon Arkana adalah cowok populer di SMA Ganesha. Kepopulerannya ditunjang oleh penampilan dan tampang yang rupawan juga kiprahnya sebagai playboy. Naresh biasa berganti pasangan dari cewek yang satu ke cewek yang lain. Karena baginya c...