Bab 63

39.4K 3.1K 140
                                        


Debuman pintu yang ditutup terdengar cukup keras. Disusul oleh suara tas yang dibanting asal dan berakhir teronggok di sudut kamar.

Naresh alias si pelaku kini sudah duduk di tepi kasur. Masih dalam balutan seragam putih abu-abunya cowok itu terlihat ingin melampiaskan kesal dan gusar yang ia rasakan akibat ulah Yuna.

Dengan kasar Naresh melepas dasi yang melilit lehernya. Lantas, ia berdiri dan menghampiri lemari besar yang berada tepat di depannya.

Tangan kanan Naresh sudah menggapai gagang pintu lemari. Namun, tak kunjung ada tanda-tanda ia akan membuka lemari itu.

Detik ini, pandangan Naresh seakan dipenuhi kabut amarah. Pikirannya pun ikut berkecamuk hebat saat lagi-lagi mengingat kata-kata Yuna beberapa jam yang lalu.

Jika benar apa yang cewek itu katakan, maka Naresh benar-benar tidak habis pikir. Ia juga merasa amat bodoh karena selama ini telah tertipu oleh cewek licik seperti Yuna.

"Arggh!" teriak Naresh.

Nyaris saja tinjunya mendarat tepat pada kaca lemari. Beruntung otaknya langsung mengingat Kara. Alhasil, hal itupun tak sampai terjadi. Bagaimanapun juga Naresh tidak ingin membuat Kara semakin khawatir.

Beberapa saat berlalu. Naresh masih berada di posisi yang sama. Ia sedang berusaha menetralkan amarahnya. Setelah amarahnya sedikit reda ia pun membuka lemari.

Netra tajam Naresh kini tengah mematut atensi pada laci bagian bawah yang jarang sekali terjamah. Naresh langsung menarik laci itu. Amplop besar berwarna cokelat dengan logo salah satu rumah sakit pun langsung dapat Naresh lihat.

Amplop itu kini sudah berpindah ke tangan Naresh.

Dengan gontai ia melangkah dan kembali duduk di tepi kasur. Tak langsung dibuka, Naresh justru menatap lamat amplop itu. Ada berbagai emosi yang kini memenuhi netra hitamnya. Ada sepercik rasa takut yang menghuni sudut hatinya saat mengingat isi dari amplop itu.

Perlahan, Naresh membuka amplop itu dan mengeluarkan selembar kertas yang juga terdapat logo rumah sakit.

Ada cukup banyak kalimat yang tertera dalam kertas itu. Namun, hanya satu kalimat yang jadi objek perhatian Naresh.

"Kerusakan fatal pada ginjal dan jantung karena mengkonsumsi zat kimia botulinum secara rutin," eja Naresh dengan seksama.

Mata Naresh memerah begitu usai membaca hasil tesnya beberapa waktu lalu. Hasil tes yang telah ia sembunyikan dari Kara. Bahkan, Naresh sampai memohon pada dokter Nevan agar tak memberi tahu Kara maupun Tama. Alasannya?

"Gue nggak akan pernah sanggup lihat papa dan Kara sedih karena gue," ungkap Naresh dengan nada pilu.

Siap tidak siap Naresh harus tetap menerima kenyataan yang ada. Kenyataan bahwa kini usianya tidak akan lama. Ia mungkin tak akan bisa menginjak kelas 12 SMA bersama Kara. Ia mungkin tak akan ada di hari ulang tahun Kara berikutnya. Ia mungkin juga tak akan pernah bisa mendengar omelan Tama lagi.

Kedua tangan Naresh kini menutup wajahnya yang dibasahi air mata. Kali ini Naresh memang tak bisa menahan diri. Ia tak kuasa menahan air mata karena terlalu sedih dan sulit menerima kenyataan pahit tentang kondisinya. Naresh juga marah dan benci pada Yuna. Ia sangat ingin membunuh cewek itu. Tapi, Naresh tahu membunuh Yuna pun keadaan akan tetap sama untuknya. Dia tetap akan mati di usia muda. Dia akan tetap meninggalkan orang-orang tersayang. Bahkan, sebelum ia sempat mengungkapkan seberapa besar rasa sayangnya pada mereka. Sebelum ia bisa melakukan banyak hal untuk mereka.

"Tuhan ... kenapa harus gue?"

Lirihan itu adalah pertanda bahwa detik ini Naresh memang sepenuhnya hancur. Hatinya telah menjadi kepingan-kepingan kecil yang tak akan kembali utuh. Nareshta telah kehilangan pijakannya.

Possesive PlayboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang