Tengah malam udara pantai terasa dingin dan menusuk kulit. Padahal, Kara sudah memakai pakaian yang tebal. Tapi, ternyata pakaiannya masih belum mampu mencegah dari dinginnya udara pantai.Mata Kara juga masih terbuka lebar. Kantuk tak kunjung ia rasa meski tubuhnya lelah karena seharian ini bermain di sekitar pantai.
Beberapa kali Kara mengubah posisi tidurnya. Kini, cewek ber-sweater mocha itu tengah menghadap Olin yang sudah tertidur pulas.
Dalam sekejap, kata-kata Olin kembali berseliweran di benak Kara. Seakan-akan menuntut Kara untuk segera memberi jawaban pada Naresh. Pusing pun langsung menyerang kepala Kara. Bersama suasana hatinya yang tiba-tiba jadi begitu buruk.
"Ck!" decak Kara, lalu mendudukkan diri.
"Kenapa gini, sih?" gerutu Kara.
Perasaannya jadi makin kacau hanya karena memikirkan kata-kata Olin dan bagaimana sikap Naresh selama ini.
Akhirnya, Kara memutuskan keluar dari tenda. Ia berniat menjernihkan pikirannya dengan melihat ombak pantai. Namun, saat ia keluar justru sosok pertama yang ia lihat adalah Naresh.
Cowok itu sedang duduk di atas pasir dengan posisi bersila. Di tangannya tergenggam secangkir cokelat panas, sepertinya.
Mau tak mau Kara pun menghampiri Naresh.
"Belum tidur?" tanya Kara begitu mendudukkan diri di samping Naresh.
Senyuman Naresh terbit begitu melihat Kara.
"Belum. Nggak bisa tidur, Ra. Lo juga?" tanya Naresh.
"Hm."
Keduanya pun saling diam. Mungkin, sedang menikmati udara dan ombak pantai di depan sana.
"Ra ...."
"Hm?"
"Askara?"
"Kenapa, Resh?"
Kara bertanya pun menatap Naresh.
"Kamu mau nggak jadi pacar aku?"
Lagi-lagi pertanyaan itu yang terlontar dari mulut Naresh.
"Belum genap sebulan," tutur Kara.
Cowok itu terkekeh pelan.
"Iya, ya? Tapi, gimana, dong? Kan gue udah bilang ... gue nggak akan sanggup kalo harus nunggu sampai sebulan penuh," papar Naresh.
"Tapi, itu udah jadi kesepakatan kita. Gimanapun juga ... lo harus nunggu!" tegas Kara.
"Waah!" seru Naresh sambil meletakkan cangkir cokelatnya.
Atensinya terus terpatri pada Kara.
"Lo lagi balas dendam, ya?" tebak Naresh.
"Iya," jawab Kara tanpa ragu.
Naresh tersenyum getir. Benaknya kembali mengingat betapa bodoh dan brengsek dirinya di masa lalu.
"Dulu ... gue jahat banget, ya, Ra?" tanya Naresh.
Kara mengangguk mantap.
"Lo orang paling jahat yang pernah gue kenal, Resh. Tapi, gue nggak bisa benci sama lo," tandas Kara.
Tak lagi berucap, kini Naresh memilih kembali menatap ombak pantai. Namun, senyum getir masih saja menghias bibirnya. Sorot matanya juga dipenuhi sesal.
"Maaf, ya, Ra ...," gumam Naresh.
Suaranya terdengar lemah. Bersama tangan kanannya yang kini meraba dada. Merasakan betapa sakit dan sesak di dalam sana. Sakit tak tertahankan yang kembali muncul setelah seharian ini ia merasa seperti orang waras tanpa penyakit kronis.

KAMU SEDANG MEMBACA
Possesive Playboy
Teen FictionNareshta Ravaleon Arkana adalah cowok populer di SMA Ganesha. Kepopulerannya ditunjang oleh penampilan dan tampang yang rupawan juga kiprahnya sebagai playboy. Naresh biasa berganti pasangan dari cewek yang satu ke cewek yang lain. Karena baginya c...