Matahari belum benar-benar tampak. Udara juga masih terasa cukup dingin. Bahkan, beberapa kali mampu membuat Naresh menggigil meski tubuhnya sudah terbalut seragam berlapis jaket leather.Sembari memeriksa jam tangannya, Naresh juga beberapa kali mengawasi gerbang tinggi di depannya. Hari ini ia benar-benar sudah mengambil keputusan besar dan langkah yang luar biasa alias bangun lebih pagi dari biasanya. Untuk apa? Untuk mengajak Kara berangkat bersama tentu saja.
Ditemani udara yang berangsur-angsur menghangat Naresh pun terus menunggu Kara. Hingga tak terasa 30 menit telah berlalu. Kini, matahari sudah mulai merangkak naik. Beberapa ibu-ibu komplek pun keluar rumah untuk belanja bahan makanan. Ada juga yang sudah pulang dari pasar. Sementara para suami dan anak-anak kompak keluar rumah dan menuju kantor serta sekolah.
Derit pintu gerbang terdengar. Seketika, atensi Naresh yang semula melanglang pada sekitar jadi berfokus pada sosok yang begitu menggemari warna baby blue dan cheesecake itu.
"Hai, Ra!"
"Naresh? Ngapain di sini?"
Senyuman Naresh kian lebar ketika Kara menanyainya. Tidak dengan nada ketus, tapi dengan nada yang cukup nyaman didengar.
"Mau ngajak lo berangkat bareng," jawab Naresh.
"Emang Yuna ke mana?" tanya Kara dengan telak.
"Gue ... ngapain jadi ngomongin Yuna, sih? Kan, gue mau ngajak lo berangkat ba--"
"Ya, soalnya gue nggak mau tiba-tiba lo turunin di pinggir jalan karena Yuna minta jemput," pungkas Kara, lalu melengos dan beranjak agak jauh dari Naresh.
Bibir Naresh terkatup rapat. Tak mampu untuk sekedar menyanggah pernyataan Kara yang demikian menohok. Lagi pula Naresh juga tak bisa menyalahkan Kara. Apa yang Kara katakan benar adanya. Disaat-saat tertentu dia memang sering mengabaikan Kara dan lebih mengutamakan Yuna. Jadi, wajar jika sekarang Kara bersikap demikian. Kara berhak marah padanya apa lagi membencinya. Begitulah pikir Naresh.
Sembari menghela napas pelan, Naresh berbalik menghadap Kara.
"Jadi, gimana? Mau berangkat bareng gue?"
"Nggak. Gue udah dijemput sama Rengga," tolak Kara tanpa basa-basi.
Tak lama, Rengga pun datang. Cowok itu bersikap bagai orang asing dengan Naresh. Bahkan, terlihat cenderung seperti tak menganggap keberadaan Naresh.
"Berangkat sekarang?" tanya Rengga.
"Iya."
Selama beberapa saat Naresh menjelma jadi patung hidup. Ia hanya diam dan terus memperhatikan interaksi Kara dan Rengga.
"Oh, iya!" seru Kara saat akan memasuki mobil Rengga.
"Kenapa?" tanya Rengga.
Cewek itu mengeluarkan satu kotak bekal, lalu disodorkan pada Rengga.
"Belum sarapan, kan?" tanya Kara.
Rengga tersenyum demikian lebar pun menerima bekal pemberian Kara.
"Tau aja. Makasih, Ra."
"Sama-sama."
Seperti inilah rasanya. Sekarang Naresh mengerti bahwa apa yang Kara rasakan setiap kali ia dekat dan perhatian pada cewek lain rasanya tak sekedar sakit melainkan sangat sakit. Sangat sakit hingga untuk sekedar menghirup udara saja sulit. Dadanya seperti ditimpa beton. Begitu sakit dan sesak tak tertahankan. Lebih sakit daripada saat dulu ia ditinggalkan oleh sang mama. Mungkin, karena selama ini Naresh sudah terbiasa menjadi satu-satunya orang yang menerima perhatian dari Kara. Tanpa sadar kebiasaan itu membuatnya jadi bergantung pada Kara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Possesive Playboy
Ficțiune adolescențiNareshta Ravaleon Arkana adalah cowok populer di SMA Ganesha. Kepopulerannya ditunjang oleh penampilan dan tampang yang rupawan juga kiprahnya sebagai playboy. Naresh biasa berganti pasangan dari cewek yang satu ke cewek yang lain. Karena baginya c...