Bab 44

52.9K 4.3K 296
                                    


Hari sudah gelap. Lampu-lampu di komplek perumahan pun sudah banyak yang menyala. Para pemilik rumah juga sudah kembali ke rumah setelah aktivitas padat sepanjang hari.

Masih dalam balutan seragamnya, Naresh berdiri, menunggu si pemilik rumah dua lantai yang dulu hampir setiap hari ia kunjungi. Sesekali Naresh melirik jam tangannya. Bermaksud memastikan sudah berapa lama dia berdiri sambil menenteng paper bag berlogo kafe langganan Kara itu.

Kemarin Naresh memang gagal. Dia ditolak oleh Kara dan diperlakukan dengan dingin. Namun, sikap dingin Kara sama sekali tak meruntuhkan tekad Naresh untuk terus meminta maaf pada cewek itu.

"Kok belum pulang juga, ya?" gumam Naresh.

Ia mulai khawatir saat Kara tak kunjung pulang. Padahal, sudah hampir jam 7 malam.

"Apa gue telfon aja, ya?"

"Tapi, nanti pasti nggak bakal diangkat."

"Tapi, dicoba dulu nggak apa-apa, kan?"

"Ah, nanti malah bikin Kara--"

"Naresh?"

"Hah!"

Nyaris saja Naresh melempar paper bag dalam genggamannya karena kaget dengan kedatangan Kara yang begitu tiba-tiba. Naresh bahkan tidak mendengar derap langkah Kara sama sekali.

"Kara? Kok baru pulang? Pulang sama siapa? Naik apa?" cerca Naresh, persis ibu-ibu komplek yang rempong.

"Bukan urusan lo," jawab Kara acuh tak acuh.

Cewek bersurai hitam panjang itu berdiri tepat di depan Naresh. Selisih tinggi mereka yang cukup jauh membuat Kara jadi tampak lucu jika bersanding dengan Naresh. Alhasil, Naresh pun tersenyum menyadarinya.

"Ngapain senyum-senyum?" tanya Kara diiringi dahi yang berkerut.

"Nggak apa-apa. Lo lucu," jawab Naresh sambil mengulum senyum.

"Gue bukan badut."

Malas melihat sikap Naresh yang menurutnya tak jelas, Kara pun berbalik. Ia berniat memasuki rumah dan segera mengistirahatkan tubuhnya yang penat.

"Ra, tunggu!"

Namun, seruan Naresh berhasil kembali memaku kedua kakinya di tempat.

"Apa?" tanya Kara dengan nada malas.

Ekspresinya pun tak kalah malas. Sepertinya, sekarang segala hal tentang Naresh telah membuatnya jadi kehilangan minat dan antusias.

Naresh menyodorkan paper bag tadi. Tapi, Kara hanya diam. Dahinya kembali berkerut. Pertanda ia tak paham dengan maksud Naresh.

"Apa, sih?" tanya Kara sekali lagi.

"Cheesecake kesukaan lo," ujar Naresh.

"Terus?"

"Ya, gue beli ini buat lo. Tadi, gue lewat depan kafe langganan lo dan lihat cheesecake ini. Gue ingat lo suka banget sama cheesecake jadi--"

"Gue lagi nggak mood makan cheesecake. Lo makan sendiri aja," pungkas Kara.

Senyum cerah di wajah Naresh seketika sirna. Kini, terganti oleh raut sendu karena penolakan yang Kara berikan.

"Kenapa? Bukannya biasanya lo suka makan cheesecake?"

"Ya, nggak mood aja. Lagian gue juga nggak minta lo beliin, jadi ngapain juga lo beli segala? Buang-buang uang aja."

"Ra, gue cuma--"

"Resh!"

Kata-kata Naresh tertelan kembali. Wajah serius Kara adalah penyebabnya.

Possesive PlayboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang