"Kara?""Hm?"
"Askara?"
"Apa?"
"Ayaaang?"
Cewek itu berhenti mendorong kursi roda Naresh. Kedua tangannya kini saling mengepal sedangkan bibirnya berusaha untuk tidak tersenyum.
"Ayang?"
"Huh?"
"Cie! Sekarang udah mau jawab kalo dipanggil ayang," ejek Naresh sembari menoleh ke arah Kara.
"Apaan, sih? Gue cuma kaget aja tadi," bantah Kara.
"Kaget? Emang tadi lagi ngelamun? Mikirin siapa? Mikirin aku, ya?" oceh Naresh.
"Ge-er banget," sahut Kara.
Cewek itu kembali mendorong kursi roda Naresh dan berhenti tepat di dekat bangku yang kemarin ia duduki bersama Yere.
Suasana taman sore ini tidak terlalu ramai. Hanya ada satu dua pasien yang tengah menghibur diri di sana.
"Ra, nggak bisa jalan-jalan keluar, ya? Bosen di rumah sakit terus," ungkap Naresh.
"Nggak boleh, Resh. Kan lo dengar sendiri dokter Nevan bilang apa," tolak Kara.
"Ra?"
"Apa?"
Cewek itu menatap Naresh penuh perhatian. Alhasil, Naresh jadi makin melebarkan senyumnya. Meski wajahnya tampak pucat dan lebih kurus daripada sebelumnya, namun kadar ketampanan Naresh tidak hilang sedikitpun.
"Kenapa senyum-senyum gitu?" tanya Kara, heran sekaligus ngeri.
"Ra, janji, ya, nanti nikahnya harus sama aku," pinta Naresh tiba-tiba.
"Ngawur! SMA aja belum lulus udah ngomongin nikah," sahut Kara.
"Janji aja dulu, Ra!" rengek Naresh.
Kelingking Naresh sudah terpampang di depan Kara. Memberi isyarat agar Kara segera menautkan kelingkingnya sebagai tanda perjanjian.
"Udah, nih! Puas?" tanya Kara setelah menautkan kelingkingnya dengan kelingking Naresh.
"Ingat! Kamu udah janji nikah sama aku. Jadi, suatu saat kalo sampai kamu ingkar janji ... awas aja. Aku bakal robohin rumah kamu," ancam Naresh.
"Kok bawa-bawa rumah gue, sih?" protes Kara.
"Ya, biarin. Kan kalo kamu nggak punya rumah pasti nanti bakal tinggal sama aku. Jadi, kamu nggak ada pilihan lain, deh, selain nikah sama aku. Kan cewek sama cowok nggak boleh tinggal serumah kalo belum ada ikatan," jelas Naresh.
Gemas dengan Naresh yang terus mengoceh tanpa henti, akhirnya Kara mencubit kedua pipi Naresh.
"Aww! Aww! Sakit, Ra," ringis Naresh.
"Masa? Gini doang," ejek Kara.
"Udah, Ra! Sakit, nih! Nanti pipi aku melar," keluh Naresh.
"Bagus, dong. Kalo pipi lo melar otomatis lo jadi jelek terus nggak ada lagi cewek yang suka sama lo. Saingan gue berkurang, deh," ucap Kara tanpa sadar.
"Ciee! Jadi, selama ini ngerasa tersaingi? Ciee, ayaaaang," ejek Naresh.
Merasa tertangkap basah Kara langsung menjauhkan tangannya. Ia pun menggeser posisi duduknya jadi agak jauh dari Naresh.
"Pipi kamu merah banget, lho, Ra. Nggak mau ke dokter Nevan? Biar diperiksa," ejek Naresh untuk kesekian kalinya.
"Apaan, sih?!" pekik Kara kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Possesive Playboy
Teen FictionNareshta Ravaleon Arkana adalah cowok populer di SMA Ganesha. Kepopulerannya ditunjang oleh penampilan dan tampang yang rupawan juga kiprahnya sebagai playboy. Naresh biasa berganti pasangan dari cewek yang satu ke cewek yang lain. Karena baginya c...