Bab 62

42.5K 3.5K 144
                                        


Dalam sekejap suasana SMA Ganesha bagai dinaungi awan hitam. Situs buletin sekolah yang berada dalam ranah eskul Jurnalistik pagi tadi telah memposting berita yang cukup menggemparkan. Bukan berita seputar acara OSIS atau ujian semester yang sebentar lagi akan tiba melainkan berita tentang salah satu siswi yang ternyata punya orientasi seksual menyimpang.

Setiap sudut sekolah, kini terus membicarakan berita itu juga orang-orang yang ada dalam berita itu. Mereka tak segan untuk menghujat dan mengutuk sang pelaku utama alias Yuna. Sosok yang selama ini dikenal sempurna tanpa cela. Memiliki kepribadian ceria dan jadi salah satu cewek idaman bagi cowok-cowok SMA Ganesha.

"Gila! Jadi, selama ini dia belok?"

"Dia deketin Naresh bukan karena suka sama Naresh, tapi suka sama Kara?"

"Jijik banget gue. Kok bisa cewek kek gitu masuk sekolah ini."

"Eh, gue dengar-dengar dulu dia pernah jadi pasien RSJ."

"Pantas, sih. Emang muka-muka orang stres."

Tatapan penuh cacian terus tertuju pada Yuna. Ke manapun Yuna mengayunkan langkah orang-orang akan melemparkan kebencian mereka dengan senang hati. Sama halnya dengan yang terjadi pada detik ini. Detik di mana Yuna terpaksa menyusuri koridor dan menerima tatapan mereka yang penuh harapan agar Yuna mati saja. Yuna terpaksa membiarkan dirinya jadi objek sumpah serapah mereka hanya demi bisa sampai di ruang kepala sekolah.

Sembari menundukkan wajah, Yuna terus melangkahkan kakinya. Susah payah ia paksa agar telinganya tak mendengar ujaran kebencian dari para siswa SMA Ganesha. Hingga akhirnya ia benar-benar tiba di ruang kepala sekolah.

Setelah ini Yuna tak tahu apa yang akan terjadi. Ia sudah sepenuhnya pasrah meski sebenarnya ia sangat marah hingga nyaris ingin membunuh seseorang yang telah membongkar rahasianya.

"Yuna?"

Suara berat kepala sekolah akhirnya terdengar. Seketika, memaksa Yuna untuk mengangkat wajah dan berusaha berucap.

"I-iya, Pak?"

"Besok ... orang tua kamu harus datang ke sekolah. Pihak sekolah harus membicarakan masalah ini dengan serius," tutur Pak Gandi.

"Saya ...."

"Bisa, kan, Yuna?"

Dua tangan Yuna tanpa sadar meremat rok abu-abunya. Berusaha melampiaskan rasa sedih dan sakit ketika rungunya harus mendengar kata orang tua.

"Yuna?" tegur Pak Gandi.

"Sa-saya ... saya nggak punya orang tua, Pak," ujar Yuna agak terbata-bata.

"Maksud kamu apa?" tanya Pak Gandi.

"Saya sebatang kara," tandas Yuna.

Nyatanya memang itulah yang kini Yuna rasakan. Sejak saat itu ia dibuang oleh papa, mama, dan kakak kembarnya. Ia tak lagi diakui karena kelainan yang ia miliki. Ia dianggap sebagai noda dalam keluarga yang pantas untuk disingkirkan.

Jawaban Yuna pun membuat Pak Gandi jadi makin pusing.

"Ck! Kalo gitu ... untuk sementara kamu nggak perlu datang ke sekolah sampai pihak sekolah memberikan keputusan untuk kamu tetap di sini atau harus pindah," terang Pak Gandi.

"Baik, Pak," jawab Yuna.

Cewek itupun berbalik. Ia hendak pergi dari sana.

"Yuna?" Pak Gandi lagi-lagi memanggil.

Alhasil, Yuna mengurungkan niatnya. Ia kembali menghadap Pak Gandi.

"Ada apa, Pak?" tanya Yuna.

"Berita itu ... apa benar?" tanya Pak Gandi dengan berat hati.

Possesive PlayboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang