08. Jisung, Dulu, dan Mimpi

334 64 2
                                    

Mimpi itu tak punya syarat. Mimpi tak mengadakan audisi untuk memilah manusia mana yang pantas mendapatkannya. Mimpi terbuka. Anak kecil, remaja, orang tua, lansia sekalipun, mereka bebas mengukir mimpinya sendiri. Melukis, membubuhinya warna-warni yang memikat netra. Mimpi itu indah. Kamu tak akan bisa terbebas dari jeratannya walau muncul sepercik keinginan untuk memupuskannya.

Apa salahnya punya mimpi?

Ini mengenaskan. Ketika tahu segelintir orang yang seharusnya didukung keras-keras justru disingkirkan. Mereka bilang,

"Buat apa sih jadi pilot? Nanti kamu jatuh gimana? Kamu pikir pilot itu keren? Nanti kalau kamu meninggal kamu diminta pertanggungjawaban atas nyawa semua penumpangmu kalau-kalau pesawatnya jatuh."

Atau,

"Nggak usah punya mimpi! Ngerepotin. Dulu aku juga nggak punya cita-cita apapun tapi sekarang aku hidup bahagia. Kamu cuma perlu cari pasangan yang bisa memenuhi semua itu. Kalau kamu berhasil, hartamu nggak akan kekurangan."

Tapi mereka tak pernah tahu seberat apa melepas yang namanya mimpi. Jisung sempat tergelak geli. Haha padahal cuma sebatas "mimpi" yang tinggalnya di benak. Halusinasi, angan-angan, andai-andai itu belum tentu terwujud tapi kenapa melepasnya sesakit membunuh dirinya sendiri?

Punya mimpi bukan hanya dengan tujuan bisa dikenal banyak orang setelah kamu berhasil menggapainya—setidaknya itu untuk Jisung. Kepada dunia, teruntuk dunia, dari Park Jisung, dia ingin memberi bukti nyata bahwa seorang remaja yang dulunya hobi dikucilkan ini bukan sekedar hidup untuk menjadi sampah masyarakat. Tidak hidup untuk diolok-olok. Tidak hidup untuk dicaci-maki. Tidak hidup untuk selalu disalahkan.

Memangnya kamu pikir, semua itu gampang diterima?

Lewat mimpi, Jisung bisa memutarbalikkan segalanya. Dunia yang dulu nyaman menempatkannya di bawah, akan mengakuinya. Dia akan diberi tahta yang gemerlapnya bukan main. Singgasananya dihiasi zamrud yang berkilau cantik.

Lantas, apa yang direlakan oleh Park Jisung?

Hari itu cuma hari sabtu biasa yang isinya jadwal membosankan—tidur di rumah seharian sebab semua kawannya melarikan diri entah kemana. Layar kacanya menyala. 5 pemuda menawan di atas panggung yang dekorasinya mengungkit tema koboi. Riuh tepuk tangannya menggema kala si rambut ungu menjadi center dance. Karismanya menguar. Jisung terpana.

Kelihatannya mudah. Dia hanya perlu bergerak menikmati alunan musiknya.

Coba-coba, Jisung yang sekedar penasaran itu bangkit. Asal menggerakkan tangannya atau tungkai kakinya yang tadinya lemas diayun. Itu bukan hal yang sepatutnya dibesar-besarkan, tapi ketika eksistensi Kim Doyoung tiba-tiba terdeteksi, Jisung seakan diberi tumpahan berlian yang memabukkan mata.

"Wah Jisung! Sejak kapan kamu belajar nari gitu?" Doyoung merebak. Suasananya canggung—bagi Jisung. Dia berhenti. Membeku bersama tangannya yang mengusik tengkuknya sendiri.

Jisung menggeleng. "Nggak Hyung. Aku nggak belajar. Tadi itu cuma iseng." Kemudian cengirannya diulas.

Tahu-tahu, Doyoung mendekat. Kedua tangannya yang semula diisi penuh oleh dua kantung berat di masing-masing tangannya, dicampakkan seakan lalat pengganggu. Si kakak sepupu menyergap kedua pundak yang lebih muda.

"Cita-citamu apa?"

Jisung mengernyit. Mulutnya menggumam singkat. "Pesepak bola? Dulu aku suka main bola."

Doyoung menipiskan bibirnya. Dia memberi satu tepukan di pundak si Park. "Daripada pesepak bola, aku pikir kamu lebih punya peluang di hal nari-menari gitu. Aku bukannya membesar-besarkan, yang barusan itu bener-bener bagus. Walau kamu ngomongnya cuma iseng. Aku rasa bakatmu ada di sana."

Shy Shy Jwi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang