26. Dari Seorang Kakak

166 29 5
                                    

Manusia itu sulit diminta mengukuhkan pendiriannya sendiri.

30 menit yang lalu, ada seorang bocah perempuan yang mana matanya bulat memikat hati tengah dililit kebingungannya yang tak pernah berujung. Kedua tangannya yang mungil erat menggenggam dua boneka yang berbeda. Dia diminta memutuskan antara Olaf atau Elsa yang parasnya nyaman dipandang. Kemudian saat setelahnya, bibirnya menukik ke bawah. Sesal telah memilih Elsa yang bisa menyaingi kecantikannya.

Atau seorang ibu rumah tangga yang digoda akan pantulan sinarnya yang kelewat indah untuk ditatap ketika sebongkah cincin bertahtakan berlian glamor itu menarik atensinya. Dia keluar rumah bersama segepok uang yang turut serta. Lalu, transaksi itu terjadi dan yang ia dapatkan berikutnya malah segumpal kekecewaan sebab menyadari dirinya boros.

2 contoh itu cukup untuk melukis seberapa goyahnya manusia menghadapi kelap-kelip dunia. Mereka memandangnya kemudian mulut itu berucap, wah cantik banget, aku pengin punya. Tanpa tahu bahwa semua yang ada di belahan bumi ini sekedar setitik kemeriahan yang menjanjikan keterpurukan jika manusia terlalu banyak meraupnya.

Lantas apa kaitannya dengan lika-liku skenario Park Jisung kali ini?

Tungkainya melangkah lunglai keluar ruangan. Keningnya mengkerut. Lewat kelopaknya yang baru dibuka, dia menyadari sesuatu yang bukan miliknya. Atap itu, tempat tidurnya, atau lantainya yang bersih mengkilap, semua itu bukan miliknya.

Ini bukan rumahnya.

Kemudian dia mencoba mencari tahu. Si tuan rumah ditemukan berpaku di dapurnya. Panci di sisi kanannya bergemulutuk kecil. Bunyi ketukan pisaunya yang menghantam kayu alasnya ikut menyertai.

Tiba-tiba, Jisung dibuat rindu akan istananya yang malah lebih buruk dari kandang ayam. Satu orang lagi yang gagal mengukuhkan pendiriannya, tercecer di sini.

Kim Doyoung yang sekarang merangkap sebagai didikan Gordon Ramsay itu menoleh ketika rungunya menangkap tapak kaki lain. Senyumnya yang mengembang dan cerianya yang melebihi matahari, menyongsong Jisung untuk pagi yang baru ketimbang sebelum-sebelumnya.

"Hei, udah bangun? Gimana rasanya? Nggak apa-apa kan? Badanmu enak? Tidurmu nyenyak? Kalau masuk angin aku bisa buatin jahe hangat."

Park Jisung, anak 17 tahun yang pertama kalinya disambut sehangat ini selepas beberapa tahun silam.

Tangan kanannya terangkat mengusap tengkuknya sendiri. Langkahnya diteruskan sampai ia berlabuh pada meja makannya yang dihadiri sekeranjang macam-macam buah segar.

"Aku baik-baik aja. Tidurnya lumayan nyenyak. Makasih Hyung." Punggung tegap yang masih setia membelakanginya, ia tatap.

"Nggak perlu makasih." Kepalanya kembali menoleh. "Masih ngantuk? Kalau iya, hari ini mungkin kamu bisa istirahat di rumah sehari penuh. Nanti aku yang izinin ke wali kelasmu." Kemudian tangannya mengusir bersih potongan-potongan tomatnya ke dalam mangkuk.

Jisung menjawab dengan satu gelengan. "Aku beneran nggak apa-apa, Hyung. Kebanyakan tidur juga nggak bagus kan?"

Doyoung tak mau memaksa. Tubuhnya berbalik selepas menuangkan supnya masuk ke satu mangkuk yang lain. Kakinya melangkah, mengikis jarak sebelum karyanya hari ini ia pamerkan untuk sarapan yang lezat.

Tangannya menarik satu kursi yang tersisa. "Nah, ayo makan yang banyak." Sepasang sumpit diraih kemudian—tuk—mendarat tepat di sisi kiri tangan Jisung yang masih teronggok.

Semangkuk nasi telurnya ditarik mendekat. Sumpitnya digerakkan. Acak mengocok butiran-butiran nasinya sampai berakhir menyatu rata bersama telur yang ikut menyebar di mana-mana. Satu suapan diambil. Lolos masuk ke dalam tenggorokannya.

Shy Shy Jwi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang