30. Chenle; White Lies

146 28 5
                                    

Sejujurnya, Chenle sendiri tidak tahu apakah yang tengah dilakukannya ini bisa disebut sebuah kebaikan membantu orang atau malah justru sebaliknya.

Ketika rembulan mulai bangga memamerkan sinarnya yang cantik memikat. Ketika malam menjanjikan kenyamanan yang tiada taranya. Ketika selimut di atas tempat tidurnya meraung-raung menggodanya untuk segera bergelung di dalamnya, Chenle dengan ajaibnya menolak semua itu.

Mula-mula, dia terduduk di atas lantainya yang nyaris tak pernah diterpa debu secuil pun. Sepatu hitamnya dikenakan. Lantas saat itu tiba—sebuah kondisi dimana hatinya meragu. Kepalanya menunduk. Meratapi pantulan wajahnya sendiri. Sosoknya seolah terjebak di dalam ubin rumahnya. Pada akhirnya, Chenle tak bisa menyimpulkan ini sebagai sebuah kebaikan.

Tapi tubuhnya tetap bangkit. Dia melangkah. Keluar, pergi jauh meninggalkan hunian mewahnya yang sejatinya gagal menahan siapapun untuk angkat kaki dari dalam sana. Terlampau berat menyeret tungkainya, Chenle nyaris menyerah. Dia menimang-nimang.

Pulang atau lanjut?

Langkah pertama, dia mantap. Tenang Chenle, nggak ada siapapun yang bakal tahu. Ironisnya, Tuhan selalu tahu walau insan-Nya menyembunyikan itu dalam-dalam atau mengunci mulutnya rapat-rapat.

Langkah kedua, dia mulai goyah. Sialan, harusnya kemarin yang terakhir. Kepalanya menggeleng berkali-kali. Berusaha menyingkirkan kabut baik seorang Zhong Chenle. Berusaha melahirkan sisi buruknya untuk yang terakhir kalinya. Malam ini, hanya malam ini lantas semuanya disudahi.

Langkah ketiga, dia gamang. Cepat atau lambat, orang pasti bakal tahu. Apa aku udah sesiap itu buat tanggung jawab? Maka, tungkai itu melambat. Kepalanya mendongak. Ini sebuah pinta yang buruk tapi tak bisakah sebuah mobil melintas, menyerempet tubuhnya sampai dia terpelanting jauh? Dengan itu, dia diresmikan berhalangan untuk melaksanakan janjinya.

Langkah keempat, dia gusar. Jisung. Gimana kalau Jisung akhirnya tahu? Pada langkah kelimanya, Chenle nyaris meraung. Menyanyikan lantunan nada menyedihkan, menyayat hati entah pada siapa.

Tapi tahu-tahu, dia memenuhinya. Langkah berat itu, tungkainya yang seakan mati rasa, kini membawanya bertamu pada sebuah gedung yang rutin ia kunjungi tiap harinya.

Oke, Chenle. Terlanjur.

Jadi, setengah berat hati, Chenle terus melangkah. Matanya mengerling sekilas. Menangkap presensi seseorang di sudut lain. Pos satpam sekolahnya nampak kosong tapi tidak benar-benar kosong. Penghuninya ada. Lelaki setengah baya itu tengah membungkuk. Sekedar menyapa Chenle lewat punggungnya yang melengkung ke bawah. Barangkali dia sibuk mencari-cari recehan yang jatuh menggelinding atau berusaha menangkap serangga menyebalkan.

Rintangan pertama, selesai! Chenle berhasil masuk. Gerbang itu terbuka sedikit. Cukup untuk memberinya peluang menyusup masuk.

Ini dia sang penguasanya.

Koridornya lengang. Bangunan itu serupa gedung yang teronggok berpuluh-puluh tahun lamanya. Menjanjikan suasana horor yang mencekam. Memecahkan semua keberanian orang penakut.

Tapak kakinya menjadi musik pengiring yang mana temponya beraturan. Tap, tap, tap. Masih aman. Tidak ada celah sekecil apapun yang bisa ia curigai. Gema tapak itu cuma satu—cuma miliknya.

Lantas ketika sebuah ruang mengunci tatapannya, Chenle meminimalisir kebisingan yang ia buat. Kepalanya menoleh sekali ke belakang. Kosong, sepi, senyap. Tak ada apapun yang harus ia khawatirkan. Jadi, kepalanya melongok. Lewat jendela, si Zhong meraih keyakinannya. Ruang di sisi kirinya ini sungguh-sungguh sepi tanpa penghuni.

Pelan-pelan, masih tak mau memancing keributan, Chenle menarik kenop pintunya. Kemudian—cklik—terbuka! Tubuhnya berkelit masuk. Menutup kembali sang pintu untuk menyembunyikan jejaknya.

Shy Shy Jwi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang