37. Terlanjur Hancur

147 25 4
                                    

Malam benar-benar tiba ketika Chenle sampai pada puncak ketakutannya. Bersama kelamnya yang kian memperburuk, dia ditampar akan kenyataan pahit yang seharusnya tidak terjadi. Sekolahnya mulai lengang. Disulap menjadi seonggok gedung tak beroperasi yang nampak suram ketika sinar bulannya memapar kawasannya.

Kepalanya sibuk menoleh ke segala arah. Mata tajamnya masih belum mau luput dari pandangannya. Dia memindai segala tempat. Matanya harus menemukan pemuda tinggi semampai yang seharusnya tiba dalam keadaan baik-baik saja. Tapi sayangnya, Chenle tidak punya banyak waktu untuk mengamati. Dia menghabiskannya untuk sampai ke sini. Ke tempat kosong penghangus harapan.

Ponselnya dibebaskan kembali dari dalam kantung celananya. Ibu jarinya memilih nama Kim Doyoung yang muncul dalam kontak terakhir panggilannya. Satu klik dan mulai tersambung. Menanti-nanti Doyoung yang harus cepat menjawab panggilannya, Chenle terus menelisik ke sekililing. Barangkali dia berhasil menjumpai Jisung di balik sebuah pohon sebab tengah berusaha menyembunyikan diri atau apalah itu.

"Ya? Kamu nelpon lagi, Chenle? Ada sesuatu?" Doyoung yang mulai membaca keadaan, menyahut dari seberang sana.

"Oh, Hyung!" Chenle setengah memekik kala si pengacara tahu-tahu muncul mengisi rungunya dengan bariton miliknya. "Jisung udah pulang?" Pertanyaannya terdengar menuntut dengan kesannya yang terburu-buru.

"Tadinya aku juga mau nanya itu ke kamu. Jisung belum pulang. Ponselnya nggak aktif. Aku harus ke sekolahnya buat jemput dia?"

Ricuh, Chenle menggeleng. Tamat. Prasangka buruknya benar-benar terwujud meski ia tak meminta. Tangan kirinya terangkat. Menyibak helai rambutnya yang jatuh mengganggu pandangannya. "Nggak ada. Jisung nggak ada di sekolah. Aku di sini."

Sebentar, Doyoung bungkam. Tapi kemudian, bebunyian ribut semacam krasak-krusuk mengisi sambungan telepon. "Jangan jauh-jauh dari sana. Kita cari Jisung sama-sama."

Selepas menghujani Chenle dengan sekelumit pesan, sambungan terputus. Doyoung mungkin tengah disergap kegugupannya ketika waktu terus memburu. Sementara Chenle di sini? Dia mana mungkin tergiur untuk cosplay sebagai paus terdampar sampai Range Rover milik Doyoung tiba.

Tungkai-tungkainya kembali diayunkan. Langkahnya lebar lebih dari sebelumnya. Dia perlu memastikan keberadaan sosok yang dicarinya. Tidak banyak yang harus ditelusuri. Paling-paling gang sempit yang resmi dijadikan tempat tinggal para tikus.

Chenle enggan menegaskan, tapi Jisung memang tidak ada. Tapak kakinya bahkan lenyap. Menyembunyikan diri dari penciuman orang-orang. Dia tak terendus keberadaannya. Mengikis kewarasan Chenle sedikit demi sedikit. Nyaris sampai ujung asanya, si Zhong kembali memanfaatkan ponselnya. Sekedar mengirim satu dua patah kata lewat pesan untuk Jisung. Menanti-nanti siapa tahu keajaiban datang memboyong dan menyampaikan kabar baik Jisung.

Sayangnya, sampai Doyoung datang bersama mobil gagahnya, Jisung belum mau memberitahu dimana gua persembunyiannya saat ini.

Jeblakan lawang mobilnya menggema keras. Doyoung menjemput dengan gurat wajah yang tidak jauh berbeda dari Chenle. "Gimana? Kamu ketemu sama dia? Udah cari kemana aja?"

"Nggak ada. Dia nggak ada di sekitar sini." Chenle menggeleng. Dilanda kepahitan pada lidahnya kala kalimat kegagalan itu meluncur.

Masih penuh dengan harapnya, Doyoung enggan berhenti di titik Chenle mulai putus asa. "Ayo masuk. Kita cari dia." Interupsinya mengudara.

Lawang mobil kembali dibuka. Dua orang masuk ke dalam sana. Dua orang yang sama-sama tengah dihantui ketakutan. Sulit diredam dan harus segera ditangani sebelum semuanya merebak pada kemungkinan terburuk. Jisung buta arah. Dia tidak terlalu tahu banyak tentang daerah-daerah di Seoul walau menghabiskan 70 tahun sekalipun.

Shy Shy Jwi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang