35. Dia Berevolusi

117 22 4
                                    

Chenle masih bersembunyi nyaman di dalam tempurungnya.

Sesuatu yang ajaib—yang sulit dipercayai—baru saja terjadi kemarin. Ketika kepalanya menoleh, menjumpai sang sobat yang terhalang akan rumitnya problematika hidup, Jisung dibuat gamang. Poinnya bukan hanya sampai di sana. Momen yang benar-benar mengejutkannya adalah kenyataan bahwa pengacara hebat andalannya, yang sekarang dengan lapang dadanya ikut bertanggungjawab untuk hidupnya—Kim Doyoung—duduk manis di depannya bersama pipinya yang menggembung besar.

Doyoung melambai. Pada Jisung atau pada Jehoon yang masih belum mengetahui suasana aneh macam apa ini. Tapi Chenle lebih dulu bangkit. Menyambar jaketnya, membungkuk untuk meraih ransel hitamnya yang dicampakkan genap 45 menit. Kemudian pergi. Dia melenggang. Berlalu mengacuhkan Jisung di ambang pintu.

Sekarang semuanya sudah tidak bisa lagi diceritakan. Sekedar untuk dibaca bagaimana situasinya pun terlalu sulit. Mulanya—harusnya—Jisung yang mengacuhkan Chenle. Pada dasarnya, si konglomerat itu yang salah.

Lucunya, sekarang segalanya seolah terbalik.

Jisung tahu bukan ia yang paling bersalah. Bukan ia yang harus bertanggung-jawab atas keretakan pertemanan ini. Bukan ia pula yang seharusnya mengudarakan pinta maafnya. Tapi kenapa ada secuil rasa bersalah yang masih sempat hadir padahal ia tidak dalam posisi untuk merasakan perasaan itu?

"Ah, sayang banget katsu-nya udah habis. Aku mau lagi tapi antriannya panjang banget."

Jisung mengerjap. Sadar bahwa tak seharusnya Chenle singgah pada benaknya selagi ada kawan lain yang mendampinginya.

Lagi, tanpa jeda, Shim Jehoon yang menemani. Kali ini bukan hanya seorang diri. Jehoon kian mempererat pertemanan. Bukan hanya dirinya tapi juga pada kawan-kawannya yang lain. Mereka bergerombol pada sebuah meja di pojok kafetaria. Lumayan jauh dari bising yang memekakkan. Tenang dan sedikit tersembunyi keberadaannya.

Jisung menunduk. Jehoon barusan mengeluh. Katsu yang seharusnya mengisi sebuah tempat yang teramat kecil di baki makannya, kosong. Penghuninya telah berpindah masuk ke dalam perut Jehoon. Habis, ludas, tak bersisa.

Lantas, kepalanya menoleh sebatas bahu. Itu dia! Stand katsu yang paling panjang antriannya. Yang paling ricuh. Yang paling memuakkan namun sangat digemari. Mereka berbondong membentuk barisan panjang yang seakan tak akan pernah berakhir. Mirip antrian panjang di kartun Spongebob.

"Mau aku ambilin?" Kalimat penawaran itu melesat. Menarik atensi 3 pemuda lain di sana termasuk Jehoon. Sementara 2 sisanya sibuk menghadiahi giginya dengan makanan-makanan lezatnya yang harus dirampungkan.

"Kamu serius?" Jehoon mengedikkan dagunya. "Lihat tuh, panjang banget antriannya."

"Udah mendingan, daripada yang tadi." Dia meyakinkan. "Cuma sebentar. Paling lama 10 menit. Aku juga mau nambah katsu, jadi punya kamu biar aku bawain sekalian. Gimana?"

Jehoon tertawa. "Ya udah kalau kamu nggak keberatan."

Maka, Jisung bangkit. Menumpuk baki milik Jehoon di atas bakinya. Dia tersenyum. Berbalik kemudian melangkah pergi. Tungkainya mengayun. Dalam 10 detik, dia dengan gampangnya masuk ke dalam antrian. Diapit lagi oleh beberapa anak yang mulai mengeluh perihal perut keroncongannya.

Ah, rasanya deja vu.

Ini, situasi seperti ini, di sini, jam segini, untuk pertama kalinya Chenle memberitahu arti teman yang sebenarnya. Dia yang seakan hidup untuk menghadapi ganasnya dunia. Dia yang sekokoh tameng baja. Dia yang selalu suka direpoti.

Dulu, Chenle ada di belakangnya. Saat seorang pemuda kekar menerobos antriannya. Menyingkirkan tubuh ringkihnya bagai sehelai kertas yang tak diharapkan kehadirannya, dia datang. Tidak dengan pedang apalagi samurai. Dia datang dengan segumpal niat untuk melindungi kawan barunya. Tanpa senjata, tangan kosong. Hanya mengandalkan lidahnya yang tajam. Dan Chenle menang. Dia berhasil melindungi Jisung untuk pertama kalinya.

Shy Shy Jwi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang